Tulisan

“ RUMAH VISIONER ” : Komunitas Sosial sekitaran Kampus IPB Dramaga

            Rumah Visioner adalah salah satu komunitas yang bergerak dibidang sosial pendidikan. Komunitas ini berfokus pada anak-anak...

Jumat, 12 Juli 2019

“ RUMAH VISIONER ” : Komunitas Sosial sekitaran Kampus IPB Dramaga




            Rumah Visioner adalah salah satu komunitas yang bergerak dibidang sosial pendidikan. Komunitas ini berfokus pada anak-anak jalanan dan isu putus sekolah didaerah sekitaran Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Dramaga. Komunitas ini dibentuk pada tahun 2017 oleh salah satu mahasiswa IPB jurusan Stastistika 2014, Mohamad Arif Pramarta. Awalnya, sebelum mendirikan komunitas Rumah Visioner, Arif tengah mendirikan salah satu cabang kegiatan sosial Komunitas Celengan Berbagi dimana setiap hasil uangyang terkumpul akan digunakan untuk berbagi 100 nasi bungkus kepada masyarakat kurang mampu seperti pemulung, pengemis, anak-anak pinggiran, dan lain-lain. Kemudian, keresahan Arif bertambah ketika melihat anak-anak disekitar tempat tinggal Arif yang menghabiskan waktunya hanya sekedar bermain di sungai pada saat jam sekolah. Setelah diketahui, anak-anak ini adalah anak-anak yang berhenti sekolah dan memutuskan untuk memulung, mengemis dan menjadi penjual donat untuk melangsungkan hidup.Hal ini membuat Arif berkeinginan untuk dapat membantu anak-anak ini agar bisa mendapat pendidikan yang layak. Keinginan Arif kemudian didukung oleh teman-teman mahasiswa IPB yang memiliki kegemaran mengajar. Akhirnya, Arif membentuk kegitan mengajar khususnya untuk anak-anak yang telah putus sekolah dilingkungan tempat tinggalnya. Murid pertamanya adalah Derri yang merupakan seorang pemulung cilik disekitaran kampus IPB Dramaga.
            Bulan November 2017, Arif mengubah nama komunitas menjadi Rumah Berbagi Pendidikan dan telah dibantu oleh beberapa orang menjadi bagian kepengurusan. Anak-anak didikan terus dicari hingga ke pelosok bagian desa dan pemukiman warga sekitaran kampus IPB Dramaga untuk mewujudkan tujuan dari Rumah Berbagi Perdidikan ini. Hingga kini, ada sekitar lebih dari 50 anak yang pernah ikut belajar di Rumah Berbagi Pendidikan. Pertengahan tahun 2018, Rumah Berbagi Pendidikan berganti nama menjadi Rumah Visioner dengan maksud untuk menyesuaikan tujuan utama yang ingin dicapai dari kegiatan komunitas ini.
            Adapun tujuan dan visi serta misi yang dimilki oleh Rumah Visioner. Tujuan utama komunitas ini adalah memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak jalanan dan atau anak-anak yang putus sekolah. Komunitas Rumah Visioner juga berusaha agar anak-anak tersebut tidak sekadar belajar dan menerima pendidikan, tapi juga dapat memiliki ijazah dengan mengikuti program kejar paket gratis serta mendapat pendidikan karakter.
            Visi yang dibawa oleh Rumah Visioner adalah: “Berusaha memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anak jalanan dan atau putus sekolah di daerah sekitar kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga”.  Misi yang ingin disampaikan antara lain: 1. Pendampingan peserta didik dalam rangkaian pembelajaran agar dapat memiliki ijazah walaupun sudah berhenti sekolah; 2. Penanaman nilai-nilai pendidikan karakter pada pelbagai aspek pembelajaran;
3. Pengembangan model bisnis social entrepreneurship sebagai sarana untuk keberlanjutan pendidikan dan pemberdayaan peserta didik guna peningkatan kesejahteraan hidup.
            Kegiatan dari Komunitas  Rumah Visioner dilakukan secara rutin pada hari senin-kamis waktu selepas ashar hingga menjelang magrib. Sistem yang diajarkan juga merupakan sistem sekolah gratis kejar paket sehingga tidak ada batasan usia dalam proses kegiatan ajar mengajar. Rata-rata usia beragam mulai dari usia sekolah dasar, usia sekolah menengah hingga ibu-ibu pekerja di salah satu Fakultas di Kampus IPB. Kegiatan selama ini dilakukan di salah satu rumah kontrakan yang berlokasi di daerah Kelurahan Cibanteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Hingga saat ini, relawan pengajar harapan (sebutan bagi pengajar sukarela murid-murid di Rumah Visioner) yang ikut berpartisipasi dalam Komunitas Rumah Visioner mencapai 400 orang. Komunitas Rumah Visioner masih terus dilakukan pengembangan dan agar bisa dijadikan Komunitas Rumah Visioner sebagai suatu bentuk yayasan resmi. Informasi  mengenai Komunitas Rumah Visioner dapat dilihat pada halaman website http://rumahvisioner.com dan instagram @rumahvisioner.

Sumber: Novita Eka Widyastuti, jurusan Matematika IPB 2014, salah satu pengurus Komunitas Rumah Visioner

Minggu, 07 Juli 2019

DejaVu : Cordofa Leadership Camp 4 ke Baduy

Entah pertanda atau apa itu..

Tahun lalu, aku lupa kapan tepatnya tanggal dan bulan berapa, mungkin di pertengahan tahun 2018.
Aku terbangun dalam mimpi dan tersadar, aku berada di wilayah yang asing. Aku melihat satu persatu wajah yang juga tak kalah asing. Sempat terbesit "siapa mereka?" tapi tidak ku tanyakan karena kondisi saat itu aku sudah berbaur dengan mereka tentunya aku saat itu sudah pasti mengenal mereka.

Saat itu mereka semua sibuk merapikan barang-barang bawaan mereka, merapikan tenda-tenda mereka, menyiapkan bawaan, atau sekedar duduk minum sejenak.
Waktu itu aku dan mereka berdiri diatas lumpur tanah yang sudah mengeras. Disisi lain ada segerombolan laki-laki yang juga melakukan hal yang sama seperti yang aku dan teman-teman perempuan di sekelilingku lakukan. Posisi kami hanya terpisah oleh jalan aspal yang menanjak dan tak lagi mulus. Di jalanan itu juga telah dipantau oleh 3 orang pemuda yang hanya diam memperhatikan kami semua.

Aku masih dalam kebingungan sesaat hingga suara itu menyadarkanku,
"Waktunya sisa 10 menit, yang belum makan ayo cepat makan!" teriak salah satu pemuda tadi yang tengah berdiri di jalanan yang menanjak.
Aku langsung berbalik dan melihat bawaan tasku bukan lagi tas hitam kecil yang hanya muat satu botol minum, alquran dan satu buku bacaan. Melainkan tas besar berwarna orange yang beratnya mencapai 10 kg dengan isinya yang entah apa aku tak tau.
Aku melihat samping kananku, ada seorang perempuan nampaknya lebih muda dariku dan sibuk menata kerangka tenda.
"Mana lagi yang perlu aku bantu?" ujarku begitu saja. Seperti aku memang perlu melakukan apa yang mereka lakukan walaupun aku tidak yakin.
Salah satu perempuan yang berdiri dibelakangku menjawab,
"itu..! Kerangka tenda itu belum dirapikan," aku berbalik dan mulai merapikannya dan hingga salah satu tulang tenda ada yang rusak, serat2 halus mencuat keluar dan dan langsung tertanam tepat di ruas-ruas jari kelingkingku.

"Hati-hati kak, itu ada yang patah," salah satu mengingatkan. Tapi percuma, sudah terlambat dan jari kelingkingku sudah lebih dulu sakit dengan serat-serat tulang tenda tertancap rapi.

Mimpi masih berlanjut. Jalanan yang menanjak ini, jalan yang memisahkan posisi perempuan dan laki-laki itu tampak begitu asing. Bentuknya berupa aspal turunan dengan sebagian jalan yang rusak sehingga hanya dipenuhi kerikil dan batu-batu tajam. Sedangkan kondisi saat itu, aku, dan -ku lirik semua orang yang berjalan disekitarku, juga tidak menggunakan alas kaki apapun. Aku terus berjalan menuruni setapak, ku ingat ada perintah berkumpul di depan mushola dibawah dari tempat awal beberes tenda tadi.

Beberapa orang laki-laki berjalan didepanku dengan kantong kresek di tangan mereka, Aku sempat bingung tapi aku tidak ingin peduli. Aku memerhatikan tempat itu lagi. Rasanya asing ini tempat pertama kali aku kunjungi. Sebelah kanan, ada rumah warga yang dibelakangnya terdapat sawah yang membentang. Aku menangkap suara dari kelompok laki-laki itu bahwa kantong plastik yang mereka pegang adalah sembako yang akan diberikan pada warga. Salah satu laki-laki yang bersuara itu nampak tak asing. Tapi aku tidak bisa mengingatnya. Siapa dia? Siapa namanya? Aku berusaha tidak ingin bergulat dengan pikiran sendiri sementara seluruh orang sudah menunggu di depan mushola.

Aku meletakkan carrierku diantara sela kaki. Kegiatan berbaris sudah bubar. Sebagian sudah pergi entah kemana dengan tas-tas besar mereka. Aku masih sibuk mencabut serat-serat halus yang menancap di jari kelingkingku.

"Kenapa?" seseorang bertanya.
Aku tau, orang itu tidak asing tapi aku tidak bisa mengingat wajahnya.
Aku mengatakan tentang luka di jariku. Dia menarik lenganku dengan sekejap untuk melihat lebih dekat dan setelahnya memberi saran, dia mengambalikan tanganku lagi. Aku mengiyakan dan menyadari disekelilingku. Tersisa beberapa orang. Aku yakin aku adalah bagian dari mereka dan termasuk dalam kelompok yang paling akhir. Mereka terpencar tidak berjauhan, sekitar 1-3 meter antara satu dengan yang lain. Mengobrol, bercanda, atau melamun. Aku menyadari aku pernah merasakan hal ini.
---Mimpi terputus, aku terbagun, tapi, tidak keseluruhan mimpi aku lupakan selayaknya mimpi pada umumnya.---


Seminggu yang lalu, aku ikut dalam suatu kegiatan diluar kampus, dan hari itu adalah hari ke-3 kita ditempat itu. Namanya Kampung Cijahe, Baduy. Aku ingat jelas bagaimana runtutan acara di hari itu.
Pagi buta kita bangun tahajud dengan kaki dingin tanpa alas menginjak lumpur coklat diluar tenda, aku dan 3 orang temanku bangun melangkah keluar menuju mushola untuk menunaikan tahajud. Air yang dingin, udara sehabis hujan membuat aku semakin meringkuk dalam jaket. Inilah pagi pertama di kampung Baduy.

Sepelas subuh, dilanjutkan kegiatan lainnya, apel, olahraga, dan sarapan. Kami kembali ke titik kumpul depan mushola, bersiap utk kegiatan outbond di sekitaran kampung. Dipersingkat, selesai kegiatan, kami diberi waktu untuk beberes dan mengemas seluruh peralatan kami, kita akan melanjutkan perjalanan ke desa selanjutnya.

Saat itu aku ingat tenda yang kami (aku dan teman kelompokku) tempati adalah tenda terakhir yang belum dibongkar. Aku sempat melihat sekelilingku, sekitaran tempatku berdiri adalah wilayah khusus untuk perempuan. Dan mereka sibuk bergegas dengan dengan urusan mereka. Aku hanya terbengong sesaat dan melihat sisi lain juga ikut turut bergegas membereskan tenda, mereka kelompok laki-laki yang sama seperti kami. Kami dibatasi oleh jalanan yang miring, beraspal tapi tak lagi mulus. Disana ada 4 orang panitia. Dua diantaranya laki-laki dan menatap serius mengamati kami yang berberes tenda.

"Waktu sisa 10 menit, yang belum makan, silahkan makan," teriak salah satu panitia. Aku tersadar dan berbalik melihat kearah tiga orang teman setendaku.
"apa lagi yang bisa aku bantu?" tawarku.

Salah satu temanku menyampaikan beberapa hal sebelum akhirnya aku mengambil kerangka tenda untuk dirapikan.
"hati-hati kak, itu ada yang rusak, serat-serat tulangnya tajam." kata salah satu teman yang lain. Tapi terlambat. Aku sudah lebih dulu memegang tulang tenda yang rusak dan kelingkingku sudah merah karena sakit tertancap serat-serat tulang tenda.

Kami semua sudah siap dan berjalan menuruni aspal yang rusak. Di sebelahku ada dua orang teman perempuanku. Didepanku berjalan si A sebagai ketua kelompokku dan beberapa orang ketua kelompok lainnya. Ditangan mereka memegang sekantong besar plastik merah. Aku penasaran kira-kira apa isinya. Penasaranku terbayar oleh pertanyaan seorang yang lain dengan apa yang dibawa si A dan teman-temannya.

"Ini sembako, dan akan dibagikan ke warga."
Aku mengangguk mendapat jawaban dalam hati. Kulirik sebelah kananku, kurasa rumah di sebelah kananku ini rumah warga, tapi kenapa tidak dibagikan? Kuperhatikan lagi, rasanya pemandangan dan situasi ini tak lagi asing.
"ayo cepat berbaris dan masuk ke dalam barisan," suara panitia menyadarkanku untuk berhenti mengotak-atik pikiran dan memoriku. Aku berbaris kedalam barisan dan menunggu aba-aba selanjutnya.

Semua kelompok siap untuk misi keberangkatan ke kampung dalam. Aku terbagi ke kelompok 4 atau kelompok terakhir dalam pembagian perjalanan. Tas carrier ku di berdirikan tepat diantara sela kedua kakiku. Terlalu berat untuk aku gendong seraya menunggu aba-aba selanjutnya. Aku kembali menyibukkan diri membersihkan serabut-serabut halus yang masih menancap tajam di jari kelingkingku. Seorang datang menghampiri dan bertanya padaku kenapa, aku menjelaskan dan dia memberi saran dari sebelumnya yang dia lakukan. Dia juga terkena luka yang sama.

Kawanku itu pergi kembali duduk dan menunggu. Aku lihat ia mulai mengobrol dengan teman kelompok lainnya. Aku beralih kesisi lain, teman-teman perempuan lainnya juga melakukan hal yang sama. Berjarak tiga meter dari tempatku, kelompok laki-laki itu ikut bercanda satu sama lain. Saling menguatkan dan memberi semangat. Tidak jauh beda, aku melihat panitia tersisa juga mengobrol dan sibuk mengatur rencana-rencana selanjutnya. Aku seperti menyadari sesuatu, aku pernah berada disini, di situasi ini. Mungkin ini yang mereka sebut sebagai DEJAVU.

"Ayo kelompok 4 silahkan berkumpul"
Suara itu terlalu familiar ketika aku menyadarinya.
Aku tau hal selanjutnya yang akan terjadi. Meskipun tampak buram, hnya sepenggal ingatan, tapi aku ingin menikmati saat ini.

--
Kenapa wajah mereka saat di mimpi itu tampak asing? Karena mereka memang belum pernah aku temui didunia nyata sebelumnya.
Kenapa aku hanya mengingat sebagian dari cerita-cerita dalam mimpi itu? Karena aku ingin melupakannya. Aku ingin melakukan semua ini menjadi hal baru yang belum pernah ku lakukan bukan terarah seperti yang aku arahkan dalam mimpi.

Sekarang aku mengingat semuanya dengan ingatan jelas, aku juga ingat siapa saja wajah-wajah asing dalam mimpi itu. Aku harap aku bisa terus mengingat mereka semua bukan sebagai mimpi yang akan hilang ketika ku terbangun, tapi sebagai pelajaran dan kenangan yang tak akan pernah hilang walau beribu kali aku terbangun dari tidur.


Dramaga, Bogor, Kamis, 7 Maret 2019


Cordofa Leadership Camp Batch 4 : 1-5 Maret 2019


Sabtu, 06 Juli 2019

Aku yang Menyukai Hujan



Bau hujan menyeru menusuk hidungku,
bukan lagi suatu hal yang asing,
dikota hujan, adalah satu dari sekian banyak kesukaanku

bulan Juni yang baru saja terlewati,
bulan yang selalu kunantikan disetiap tahunnya,
hadiah kecil yang tak terbayarkan oleh siapapun juga,
rumah dan pulang, aku selalu merindukannya di setiap bulan Juni

Kini Juli pun datang, membawa hujan perlahan
rintik-rintik kecil tak bersuara,
awan ikut meneduhkan mengiringi gerimis yang menenangkan

baru saja kemarin aku melompat riang menginjak dedaunan,
yang telah kering kecokelatan berserakan dijalanan
Kreek, aku menyukai suara dedaunan ketika terinjak,
dia telah lama gugur dari ranting,
dia telah lama pula dibiarkan kering,
sampai jumpa lagi kemarau yang dingin,
selamat datang musim penghujan yang menyejukkan

oh, ya! ini kota hujan!
satu dari mimpi lamaku untuk bisa berada dikota ini,
aku yang menyukai hujan,
menyukai bagaimana bau tanah yang merindukan disiram,
menyukai bagaimana suara rintik yang berirama,
menyukai bagaimana aku melompat kecil diatas genangan setelah hujan,
seakan ku tengah menari tanpa lagu dan hanya bersama hujan
aku menyukai sepatu dan ujung baju yang perlahan mulai basah
aku menyukai tetesan air dari payung dan atap dimana ku mengadah
aku menyukai jalanan dan dedaunan yang menetes dari sisa-sisa air hujan

hujan itu menenangkan
hujan itu menyembunyikan
hujan akan menenangkan setiap hati yang gelisah
hujan akan menyembunyikan wajah mereka yang sudah lama lelah

hujan adalah kawan
menemani mereka yang butuh kesendirian
bukan berarti membawa kesedihan dan kesenduan
hujan adalah kawan
tanpa perlu kau bicara dan ceritakan

aku menyukai hujan,
semua tentang hujan,
sayangnya ku terlalu pengecut saat engkau datang
apakah memang begitu,
selalu ada yang tak bisa aku raih tentang apa yang ku suka
walau pun begitu, aku akan tetap menyukai hujan
meski hanya dibalik jendela, atau dibawah atap yang meneduhkan

suatu saat nanti,
bila ku akan kembali pergi dari tempat ini,
aku pasti kan merindukan smua akan kota ini.
maka sebelum aku pergi,
mari kita nikmati saat-saat ini,
selamat datang hujan bulan Juli,
mari kita berkawan dan kembali menari dan bernyanyi
ku tak peduli apa yang akan terjadi, itu urusan nanti.

ND_606 (Bogor 4/7/19)