Tulisan

“ RUMAH VISIONER ” : Komunitas Sosial sekitaran Kampus IPB Dramaga

            Rumah Visioner adalah salah satu komunitas yang bergerak dibidang sosial pendidikan. Komunitas ini berfokus pada anak-anak...

Jumat, 19 Juni 2015

Cerpen : Burung Gereja

Judul: "Burung Gereja"


Sebuah kisah sederhana tentang seorang ayah..

Di pekarangan rumah sederhana, sebuah bangku panjang hitam telah menjadi saksi bisu pendirian rumah itu. Dan hingga saat ini, bangku tersebut masih bisu dan merelakan tubuhnya untuk diduduki oleh dua orang pria yang tidak lagi asing. Dua orang pria si penghuni rumah.

Seorang di antaranya memakai kemeja rapih yang lengkap dengan dasi biru menggantung elegan dilehernya. Sepatunya bersih, jam tangan bermerek terkenal. Mata cokelatnya jeli membaca rentetan tulisan dari koran pagi. Wajahnya tegang, kaku, dan terlihat begitu serius bahkan ia juga mengabaikan orang yang saat itu sedang duduk disampingnya.

Salah seorang lagi, pria dengan kemeja yang tidak lagi serapih kemeja milik orang disebelahnya. Sepatunya tak semengkilap sepatu orang disampingnya. Dan umurnya yang lebih dari dua kali lipat dari umur orang berdasi itu.

Si pria tua hanya duduk diam dalam kekakuan. Sekilas ia melirik pada pria muda disebelahnya. Pria muda masih tetap fokus dalam kesibukannya sendiri. Hingga pria paruh baya ini mulai mencari-cari apa yang setidaknya bisa membuat pria muda disampingnya itu mau menoleh ke arahnya.

Matanya menyapu semua yang ada di pekarangan rumah kecilnya. Kemudian seekor burung gereja terbang rendah ke bawah dan hinggap di salah satu tiang pagar rumahnya.

"Apa itu?" tanya pria tua.

Si pria muda hanya melirik sekilas ke tempat burung kecil itu hinggap.

"Itu burung gereja." Jawab pria muda. Ia kembali melanjutkan membaca korannya.

Burung kecil itu kembali terbang dan hinggap di ranting pepohonan dekat mereka duduk.

"Apa itu?" tanya pria tua lagi.

Pria muda melirik ke arah yang di tunjuk.

"Itu burung gereja" kata pria muda.

Burung kecil itu kemudian terbang lagi dan akhirnya turun ke tanah.

Si pria tua kembali bertanya pada pria muda,

"Apa itu?"

Si pria muda mulai kesal dengan pertanyaan sama yang diajukan oleh si pria tua. Ia menutup kasar koran yang dipegangnya dan dengan nada suara tinggi ia menjawab,

“Itu burung GE RE JA !! Sampai kapan ayah akan bertanya hal yang konyol seperti itu lagi ?"

Mendengar hal itu, si pria tua terdiam sejenak, kemudian ia berdiri dan berjalan masuk ke dalam rumah sederhananya.

"Ayah, mau ke mana, yah? Ayah!" panggil si pria muda. Pria tua tetap melangkah tertatih tanpa menoleh ataupun menjawab panggilan dari anaknya.

Melihat ayahnya pergi tanpa mengatakan apa-apa, sang anak merasa bingung. Namun rasa kesalnya masih begitu besar dalam hatinya. Si pria muda tertunduk diam di tempatnya. Beberapa saat kemudian, sang ayah kembali datang sambil membawa sebuah buku bersampul hitam. Ia kembali duduk di samping si pria muda, anaknya.

Sang ayah memberikan buku hitam itu ke tangan sang anak. Si pria muda bingung dengan tingkah laku ayahnya yang cuma mengisyaratkannya untuk membaca isi buku hitam tersebut. Dengan hati-hati, si pria muda membuka satu per satu dari halamannya.

"3 Oktober 1982 (sekitar 25 tahun yang lalu), hari ini aku duduk di taman rumah bersama putera tersayangku. Kemudian ia bertanya padaku saat melihat seekor burung yang sedang terbang rendah ke tanah.

'Apa itu, ayah?' tanya puteraku dengan polos.

'Itu burung gereja,' jawabku.

Saat burung itu terbang dan berpindah tempat lain, anakku bertanya,

'Apa itu, ayah?'

'Itu burung gereja,'

Dan dia kembali bertanya saat burung itu kembali terbang dan berpindah di tempat yang lainnya.

'Apa itu, ayah?' aku pun kembali menjawab,

'Itu burung gereja'

Anakku terus bertanya pertanyaan yang sama hingga 21x. Aku dengan sabar mendengar serta menjawab semua pertanyaan itu, dan disetiap kali dia bertanya, aku memeluknya.."

Si pria muda terhenyak. Ia menatap dalam mata teduh  si pria tua. Kekuatannya tidak lagi sekuat dulu, tapi kesabaran dan cintanya masih dan bahkan bertambah dari yang dulu. Pria paruh baya yang duduk di sampingnya saat ini, tersenyum hangat seperti sosok yang dulu selalu memeluknya. Si pria muda menyadari dan memeluk tubuh sang ayah. Menggantikan hal yang dilakukan ayahnya sekitar 25 tahun yang lalu. Hal yang telah lama tidak ia dapatkan lagi dan hampir tidak ada waktu yang ia berikan untuk bisa bersama sang ayah. Ia telah melupakannya.-End




“Semoga kesuksesan tidak membuatku lupa  jasa orang tuaku” 


Ditulis oleh : Anita Rusdiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar