Tulisan

“ RUMAH VISIONER ” : Komunitas Sosial sekitaran Kampus IPB Dramaga

            Rumah Visioner adalah salah satu komunitas yang bergerak dibidang sosial pendidikan. Komunitas ini berfokus pada anak-anak...

Rabu, 17 Juni 2015

Cerpen: Miss Him

Ini cerita seorang temanku. Bisa dikatakan Based on True Story  tapi beberapa bagian sengaja aku buat sedikit fiktif. Ini hadiahku, kawan. Maaf kalau kamu tidak suka. Semoga bisa buat kamu lebih kuat dan bahagia dengan semua kenangan yang kamu miliki.

(Bukan dengan nama sebenarnya. Kesamaan nama terinspirasi dari cerpen buatannya).

Tgl : 14 Juni 15
Judul :
Miss him

Ravi melaju motor besarnya menuju jalan raya. Toni terus mengikutinya dari belakang. Wajah Toni tiba-tiba berseri ketika ia berhasil menemukan apa yang dipikirkannya. Motor metiknya semakin kuat di gas dengan sengaja untuk bisa mengejar dan menyamai motor Ravi. Tapi, tiba-tiba saja Ravi bergerak miring ke kanan. Toni kaget. Remnya tidak sempat ia tarik. Ban motor Toni langsung menabrak bagian belakang motor Ravi. Motor Ravi langsung jatuh tanpa kendali sedang tubuhnya terlempar ke sisi lain jalan. Toni yang juga terjatuh dari motornya langsung berdiri mencari Ravi. Tapi, gerakannya tidak secepat mesin. Dari sisi lain jalan, sebuah mobil melaju kencang ke arah Ravi yang terlentang tidak sadarkan diri. Toni ingin menariknya tapi.. ia terlambat.

---
Resty masih sibuk sendiri dengan ponselnya. Orang disebelahnya hanya mengamati Resty dengan kesal.

"Ape?" tanya Resty tanpa menoleh sedikit pun pada orang itu.

"Liat gue napa?! Masa' saingan gue hape, sih?!"

"Oh kalo gitu lo kalah, karna gue lebih milih hape gue daripada lo hahaha"

Ravi merampas hape Resty kasar.

"Ih, apaan sih?! Sini hape gue !"

"Gak. Selama lo disini, hape lo gue pegang."

Resty langsung tersenyum aneh.

"Apa?" tanya Ravi heran.

"Kangen ya? Lo kangen sama gue kan? Haha"

"Idih, pengen banget di kangenin. Dasar jones."

"Ih siapa yang jones? Bukannya kebalik ya? Ngaku deh. Udah keliatan kok hehe. Kangen kan, kan, kan?" goda Resty. Ravi menatapnya kesal.

"Iya, Reessstiiii. Akuuu kaangeeeen bangeet sama kamuuu. Puas?"

"Iih jadi geli ah."

"Haha dasar jones"

"Iih apaan sih?! Lo tuh yang jones."

"Hahaha" Ravi hanya tertawa melihat ekspresi Resty. Seperti sudah hobinya membuat wajah gadis ini cemberut kesal.

Gadis ini, namanya Resty Ayu. Gadis yang baru saja masuk di perguruan tinggi tahun ini. Rambut hitam bergelombang, berkulit putih langsat, dan tubuhnya kecil tapi tidak jauh beda juga seperti seorang model. Hanya saja gaya dan kelakuannya seperti bocah. Lebih tepatnya seorang anak laki-laki. Mungkin karena dari dulu ia selalu tinggal dengan anak laki-laki. Jadi tidak salah kalau sekarang gayanya jadi sedikit terlihat tomboy. (Hehe maaf, kebawa perasaan jujur nih. Tapi tetap cantik kok hehe).

Ravi Anggara, sepupu sekaligus sahabat Resty. Mereka sudah bersama sejak kecil. Mereka lahir di bulan dan tahun yang sama. Mereka juga tinggal dan bersekolah di tempat yang sama mulai dari playgrup hingga SMA. Bagi Resty, Ravi adalah orang yang paling berharga dalam hidupnya. Dimanapun ada Ravi pasti disana juga ada Resty. Mereka sudah seperti anak kembar dan tidak bisa dipisahkan.

Pernah suatu waktu, ayah Resty dipindah kerjakan di kota lain. Resty menolak tidak ingin pindah karena harus berpisah dengan Ravi. Ia kabur dari rumah dan menginap di kamar Ravi beberapa hari. Ayah dan ibu Ravi juga tidak sanggup membujuk Resty. Ayah hanya bisa geleng kepala melihat kelakuan putri sulung kesayangannya.

"Apa sih?"

"Jalan yuk."

"Kapan?"

"Tanggal 12 gimana?"

"Yah gak bisa, Rav. Udah ada agenda hari itu. Maaf ya"

"Yah, jadi lo gak pulang dong."

"Kayaknya sih iya. Maaf ya."

"Yaudah deh. Lain kali aja."

"Okey."

---
"Aaarggh.."
Resty menggeram kesal. Sejak dua jam yang lalu pikirannya tidak bisa fokus menyelesaikan soal-soal kalkulus didepannya. Resty menyerah dan akhirnya memilih keluar kamar menuju balkon untuk mengurangi penatnya.

Hape Resty bergetar terus-menerus sejak tadi. Resty yang sadar akhirnya melihat panggilan yang masuk. Ada dua puluh tiga panggilan dari ibunya. Kenapa? Resty bertanya dalam hati. Seperti menjawab pertanyaan itu, sebuah pesan masuk dari ibunya.

"Dari : Ibu

Ravi kecelakaan. Sekarang dia sedang dibawa ke UGD"

Dug. Jantung Resty tiba-tiba terpukul dengan kencang dan sejenak terasa berhenti berdegup kemudian kembali berdegup dengan kencangnya. Pikiran Resty tidak sanggup  membayangkannya.

Apa? Ravi..

Dengan sekali sigap Resty menarik dompet dan jaketnya dan pergi begitu saja. Ravi, kamu gak papa, kan? Kamu kuat, kan? Yah, kamu pasti kuat. Resty masih tidak percaya. Iya terus bergumam dalam hati untuk meyakinkan dirinya sendiri. Tanpa sadar air matanya jatuh begitu mulus kepipinya.

---
Brruuk.
Ravi membuka pintu kamar Rasty dan menyeruduk masuk ke dalam kamar. Rasty sudah tidak terkejut. Itu adalah hal yang selalu dilakukan oleh sepupu kesayangannya ini ketika dia kembali ke rumah. Ravi mengambil tempat duduk di ujung kasur Resty.

"Kenapa? Lo putus sama Dewi?"

"Sotoy lu"

"Tuh, ada tulisan dijidat lo. LAGI PATAH HATI."

"Uh, sialan" ujar Ravi dibarengi bantal yang melayang mulus ke arah Resty. Resty tertawa puas penuh kemenangan.

"Lo kapan liburnya, sih? Lama banget."

"Kenapa sih, kangen ya?"

"Serius, Res."

"Iye iye. Masih lama, Rav. Bulan Agustus.."

"Yah, kok lama banget sih."

"Iya nih. Nunggu uas dulu. Kenapa?"

"Pengen jalan bareng lo aja."

"Yah, maaf ya.. Sorry banget"

"Santai bro. Yaudah, tunggu bulan depan aja."

"Bra bro ! Memangnya gue cowok apa?!"

"Lah, kan iya. Haha"

"Ih. Tapi gue lagi gakda duit nih. Lo yang traktir kan?"

"Iye iye. Gue tau kok. Lo tinggal bawa diri aja. Dasar anak kosan."

"Hehehe" Resty cuma nyengir kuda.

Saat ini Resty sedang melanjutkan kuliah di kota sebelah. Oleh sebab itu, Resty seringkali bolak-balik dari rumah ke kosannya. Sedangkan Ravi masih harus melanjutkan sekolahnya disini. Dulu, Ravi pernah tidak sekolah selama setahun karena sakit. Dan dia juga harus tinggal setahun lagi untuk mengejar keketinggalannya. But, it is not problem for him. Dan Resty untuk pertama kalinya harus berpisah dengan Ravi.

Ravi mengambil bingkai foto yang ada diatas meja. Terlihat gambar dirinya dan Resty yang masih duduk di bangku SD dulu.

"Gue kangen banget masa ini. Gak bisa bayangin lagi wajah lo yang panik waktu itu. Haha"

"Kenapa? Lo mau kita kesana?"

"Terus lo mau gue yang bayarin ke sana juga? Enak aja."

"Haha, siapa tau?"

“Uh pengen yang gratisan aja”

Foto itu ketika mereka masih duduk dibangku kelas enam SD. Resty melonjak kegirangan ketika mendengar ayahnya ditugaskan ke Jogja. Seharian Resty membujuk ayahnya agar ia juga bisa ikut kesana. Dan ayahpun tidak pernah bisa menang melawan kemauan putrinya ini. Tentu saja, Ravi juga ikut berlibur ke Jogja bersama Resty.

Disana, Resty dan Ravi bermain ke taman kota dengan sepeda. Resty mati-matian ingin dia yang membonceng Ravi, dan Ravi akhirnya hanya manut dengan kemauan Resty itu.

Buuurk. Sepeda mereka terjatuh mulus menabrak terotoar jalan. Wajah Resty langsung panik dan berdiri menarik tangan Ravi yang ikut terjatuh dibelakangnya.

"Ravi.. Kamu gak papa, kan? Apa kamu luka? Mana yang sakit? Gak ada yang berdarah, kan?" Resty langsung menyerbunya dengan pertanyan itu.
Ravi menatap wajah Resty yang bercampur panik, khawatir, cemas dan pucat.

"Aku gak papa. Tanganmu tuh yang ngocor." ujar Ravi. Resty melihat sikunya yang berdarah.

"Waah..Hehe iya, Rav. gak nyadar."

Pandangan Resty tiba-tiba mulai kabur. Warna yang dilihatnya bukan lagi warna sebenarnya. Hanya ada satu warna. Resty tau, sebentar lagi dia pasti akan pingsan.

"Kamu gak papa, Res? Lutut kamu juga berdarah.." suara Ravi akhirnya kembali membuat Resty tersadar.

"Waaaaah... iya. Gapapa kok, Rav hehe."

"Yaudah, kita pulang sekarang ya. Biar diobati dulu lukamu."

"Rav, kamu yang bawain sepedanya ya? Aku pusing. Hehe."

"Iya. Aku juga gak mau kita jatuh untuk kedua kalinya."

"Hehe"

Di atas sepeda, pandangan Resty masih buram dan terasa berputar-putar sekarang.

"Res, kamu bener-bener gak papa, kan?" tanya Ravi cemas.

Resty melihat luka di sikunya.
"Ravi.. Sikuku bolong, Rav. Hahaha" kata Resty dibalik punggung Ravi.

"Tahan dulu, bentar lagi nyampe, kok"

"Iya, Rav."

Sampai di rumah, ibu membersihkan luka Resty. Resty menangis, berteriak kesakitan, dan mengomel tidak jelas. Ravi masih melihatnya sedih. Ayah hanya tertawa mendengar ocehan anaknya yang tidak jelas itu.

"Jadi?" Resty membuyarkan lamunan Ravi.

"Apa?" Ravi berbalik tanya.

"Rav, dari tadi lu gak dengerin gue ngomong, ya?"

"Hahaha. Maaf. Jadi?"

"Jadi, lu mau kuliah dimana? Ke kampus gue aja gimana? Biar gue punya temen balik. Hehe"

"Maksud lo biar gue jadi ojek pribadi lu, gitu? Idih. Ogah."

"Hehe, kan ngirit ongkos, Rav. Hahaha"

"Uh, dasar jones."

"Trus? Lo mau lanjut ke mana?"

"Gue pengen lanjut ke STAN, Res. Tapi gak yakin nih."

"Gak yakin? Tumben banget seorang Ravi jadi gak pede"

"Iya nih. Takut semua pesertanya kalah sama gue. Hahaha"

"Uuuh. Dasar"

"Hahaha."

Tidak lama, terdengar suara ibu Resty yang memanggil mereka makan. Dengan sekali gerak, mereka berdua langsung ngicir ke ruang makan. Kalau urusan makanan mereka memang nomer satu. Apalagi masakan ibu Resty yang selalu menjadi hal yang ditunggu-tunggu.

---
Resty terjebak macet. Air matanya terus mengalir tanpa bisa ia tahan. Rav, lo gak papa, kan? Gue tau lo kuat. Tunggu sampe gue datang, Rav. Gue mohon. Resty tidak berhenti berdoa dalam hati. Ia masih tidak bisa percaya hal ini.

Hape Resty kembali bergetar. Sebuah pesan masuk.
"Dari : Ibu

Kamu yang sabar ya, nak. Ternyata Allah begitu menyayangi Ravi. Doakan saja, semoga dia bisa tenang disana."

Resty terpaku. Jantung Resty terasa berhenti seketika. Ia merasakan sesak luar biasa sekarang.

Apa? Ravi..

Resty mencoba menarik napas untuk menenangkan diri. Tapi yang terjadi malah ia menangis sekuat yang dia mau. Sopir taksi hanya melihat sedih dari kaca. Sejak tadi,  mata Resty sudah merah karena menangis . Tapi, apa boleh buat. Dia tidak bisa melakukan apa-apa di jam macet seperti ini.

---
Saat ini sedang libur kelulusan. Lebih tepatnya libur untuk Resty karena besok masih ada ujian kenaikan kelas untuk Ravi. Tapi, sekarang mereka malah jalan-jalan di Taman Mini atas permintaan Resty.

"Jalan lagi yuk." ujar Resty setelah hampir setengah jam berkeliling.

"Kemana?"

"Ke Ragunan. Pengen liat gorila tua"

"Wah ternyata lo lagi kangen sama kembaran lo, ya? Hahaha." ledek Ravi.

Resty hanya manyun.
"Kan kembaran gue itu elu. Jadi lo itu... Haha" ujar Resty dengan kalimat setengah menggantung.

"Sialan lo. Sejak kapan kita kembar?"

"Hahaha"

Tiga puluh menit kemudian mereka sudah sampai di kandang gorila yang dimaksud.

"Mana gorilanya?"

"Udah mati kali. Lo sih, gak pernah jengukin."

"Yee. Lo yang seharusnya rawat dia. Tuh kan, kalo dia mati kan kasihan."

"Nah, lo kan kembarannya."

"Lo cowoknya."

"Emang lo tau dia cowok ato cewek?"

"Oh iya ya. Hahaha cewek kok."

"Hahaha dasar, sotoy"

"Terus gimana? Mau balik sekarang?"

"Yah sayang. Udah nyampe sini kok balik sih."

"Yaudah, terus?"

"Cari minum yuk."

"Okke"

dua puluh menit sudah Resty dan Ravi berputar-putar mencari minuman yang Resty maksud.

"Kok gak ada sih."

"Yaudah, emang lo yang lagi gak beruntung hari ini."

"Yaaah."

"Gimana? Masih mau ke tempat lain?"

"Udah ah, capek gue. Lagian besok kan lo masih ada ulangan."

"Tenang, Entar kalo gue tinggal kelas lagi, gue bilang kalo lo nyulik waktu belajar gue biar gue gak dimarahin sendirian. Haha"

"Enak aja. Ayo balik."

"Yah gak jadi jalan lagi?"

"Buruan"

"Okke. Siap, Madam. Hehe"

---
Resty sudah berdiri terpatung menatap wajah Ravi yang membiru. Tangannya bergetar ingin menyentuh wajah Ravi.

"Jangan, Res. Dia sudah bukan Ravi." Suara ibu menghentikan gerakannya. Air mata Resty kembali terjatuh. Dia benar-benar tidak percaya, bahwa orang yang terbujur kaku di hadapannya saat ini adalah teman, sahabat, dan kakak terbaiknya. Resty sudah tidak bisa menyangkalnya lagi saat ini. Ia hanya bisa menangis.

"Ini bukan kesalahannya, tapi saya. Saya yang menabrak motornya. Saya.. Saya.. saya minta maaf. Saya juga tidak bisa menariknya saat.." terdengar suara seseorang dengan tangis sesenggukan.

Resty melirik tajam. Tiga orang anak SMA dari sekolah yang sama dengan Ravi. Resty menyipitkan mata melihat salah satu yang sedang berbicara sambil terus menangis. Wajah Resty berubah marah ia hendak menghampiri dan menampar wajah anak itu sebelum akhirnya ia mendengar lagi kata-kata yang ia ucapkan.

"Maaf.. Maaf.. Maaf.."

Resty diam. Kepalan tangannya perlahan mulai longgar. Ia tahu, ia juga tidak bisa menyalahkan anak itu. Disudut lain ruangan, Bang Rio, kakak Ravi, menangis sesenggukan tanpa suara. Resty kembali terhenyak. Langkah Resty baru akan menghampirinya, tapi saudara sepupunya yang lain telah datang dan menenangkannya. Resty kembali tertahan, mungkin mereka lebih bisa menenangkan Bang Rio daripada dirinya.

Beberapa saat kemudian, wajah Ravi akan ditutup dengan kain putih. Resty mendekat ingin melihat wajah sepupunya itu untuk terakhir kali. Ingin sekali ia mencium keningnya. Tapi kembali dicegat oleh ibu yang berdiri disampingnya.

"Ia sudah di wudhukan." ujar ibu.

Resty terhenyak. Ia menahan amarah sendiri. Untuk terakhir kalinya, ia bahkan tidak sempat untuk menyentuh ataupun mencium sahabat kecilnya. Air mata Resty tumpah. Ia hanya bisa menangis melihat kain putih yang menutup wajah tampan sepupunya.

---
Sehari, dua hari, rasanya Resty masih tidak bisa percaya. Hatinya selalu berusaha ikhlas, tapi rasa kehilangan memang tidak bisa membuatnya berhenti manangis.

Suatu waktu, Resty bercerita kepada ibunya bahwa ia melihat sosok Ravi. Sangat jelas ia tahu kalau orang itu adalah Ravi. Cara berjalannya, ia tahu betul bagaimana gaya Ravi ketika berjalan. Dan dia tidak pernah bisa melupakan itu. Tapi, apa yang Ravi lakukan? Ia hanya mengikuti kemana pun Bang Rio pergi. Saat makan, berjalan, Ravi terus membuntuti Bang Rio, kakaknya. Resty terhenyak. Entah itu hanya sekedar mimpi atau bukan. Tapi ia yakin, semakin ia berat melepas Ravi, semakin berat pula untuk Ravi bisa tenang di alam sana. Resty menyadari hal itu. Ibu hanya bisa menenangkan hati putri sulungnya ini. Ibu juga tau kalau putrinya bisa mengerti lebih banyak tentang hal semacam itu. Ibu hanya bisa terus mengingatkan untuk Resty bisa ikhlas dan kuat. Dan Resty membenarkan.

---
Saat ini, sudah hari ke-14 sejak kepergian Ravi. Resty duduk dihadapanku dengan wajah yang masih jelas nampak ketidakpercayaannya. Kita bercerita begitu banyak hal. Tawanya, aku pikir dia bisa tertawa seperti itu hanya untuk menunjukkan padaku bahwa dia sudah melupakan kejadian tentang sepupunya. Tapi, aku bisa membaca dengan jelas tulisan dari raut tawa manisnya. Resty masih merasakan kehilangan yang begitu besar dalam hidupnya.

Hingga disuatu titik, akhirnya Resty mulai berbicara tentang Ravi, sepupu terbaiknya, kakak yang luar biasa baginya, sekaligus sahabat seumur hidupnya. Dan saat itu pula, Resty mengakui rasa ketidakpercayaannya itu. Resty menangis. Dihadapanku, pada akhirnya aku bisa benar-benar melihat keadaan Resty sesungguhnya saat ini.

Hari ini kita masih ada ujian, dan aku tau, pikirannya juga tidak bisa menerima semua yang telah ia pelajari. Ujiannya, ia seakan menyerah dengan ujiannya ini.

Resty sempat tersenyum padaku ketika menceritakan semua kenangannya bersama Ravi.

"Luka itu, luka saat kita jatuh dari sepeda, ini, masih ada bekasnya. Masih sangat jelas, kan? Itulah kenangan yang tidak pernah aku lupakan selama hidupku bersama dengan Ravi.

Dan,

Janji kita, setelah aku selesai uas nanti, kita akan pergi ke Taman Mini dan jalan-jalan lagi ke Ragunan. Tapi sepertinya aku akan pergi sendirian." ujar Resty.

Ia menangis.

Maaf.
Maaf, aku tidak tahu cara menenangkanmu. Maaf aku tidak tau cara menghiburmu. Maaf aku juga bahkan tidak tau bagaiman cara menguatkanmu dan mengembalikan ceriamu seperti dulu. Dan, maaf, aku malah membuatmu kembali menceritakan sesuatu yang menyakitkan bagimu. Maaf, maaf, bukan maksudku.. Tapi, semua kenangan itu, aku berharap bisa membuat kamu bahagia dengan semua kenangan yang kamu miliki bersama Ravi. Kenangan itu bukan menyakitkan, tapi itu kenangan yang paling membahagiakan. Aku tahu kamu kuat, Res. Tersenyumlah karena Ravi juga akan tersenyum ketika melihatmu tersenyum.

---------oooo-------- end


Tulisan-tulisan Resty.~

"Masih.. Masih... Unbelieved.."

"'Buat ikhlasin sesuatu yang kita sayang pergi itu memang susah, tapi yang jelas perginya dia udah Tuhan atur, dan pasti itu yang terbaik :) -Mario Teguh.' Iya bener :') bener ga Rav? "

"Besok.. Padahal besok pingin foto bareng waktu udah di poles..tapi elu nya... :( besok dateng ya Rav :') maaf ga bisa dateng ke tujuh harian elu :) maafin"

"Aku kangen sama kamu, Rav.."

"Rav.. Rav..
Biasanya kalo acara kayak gini, elu yang bantuin gue :)
haaafft..."

"Masih gak percaya, Rav.."

"Pengen ketemu elu Rav.. :("

"I hope we can...
Meet.."




"Makasih ya Rav.. Selama 19 tahun ini selalu nemenin gue dan selalu ada saat gue susah.. Makasih banget :') maaf banget gue ga ada saat lu susah :") maaf banget gue gak sempat nemenin lu saat di UGD :'( gue sayang lo Rav.. Lu udah kayak kakak gue sendiri.. Gue bener bener kehilangan Rav :'( bismillah.. Lu selamanya jadi sepupu + kaka gue. Forever.! I Love You my Brother.. Selamat jalan.."





"Miss him :'("


Ditulis Oleh : Anita Rusdiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar