Tulisan

“ RUMAH VISIONER ” : Komunitas Sosial sekitaran Kampus IPB Dramaga

            Rumah Visioner adalah salah satu komunitas yang bergerak dibidang sosial pendidikan. Komunitas ini berfokus pada anak-anak...

Minggu, 16 Agustus 2015

Masa Perkenalan Fakultas

Tgl : 14 Agus 2015



Inilah perjalananku.
Dua bulan yang lalu, aku dikenalkan pada mereka. Suatu kelompok kecil untuk acara perkenalan fakultas.

Awalnya aku takut. Aku tidak berani bahkan walau hanya menyebutkan namaku. Aku takut membuka diri pada orang baru. Itu kelemahanku.

Hari keduanya kita dikumpulkan kembali oleh ketua kelompok. Yah, saling berkenalan lagi. Aku mengenal mereka sebatas nama. Aku memperhatikan, aku melihat setiap gaya dan perilaku mereka. Aku rasa aku bisa mengenal mereka saat itu. Hanya dan memerhatikan, apa itu salah? Yah, menurutku itu salah. Kemudian, tiba-tiba saja aku ditunjuk sebegai sekertaris kelompok. Itu bukan gayaku. Apalagi itu bukan keahlianku. Tapi mau apa lagi. Aku hanya ditunjuk. Hati kecilku takut dan bergetar. Aku benar tidak berani.
"Ya" ucapan itu keluar begitu saja. Dalam pikiranku, kapan aku bisa melawan rasa takut itu jika bukan sekarang? Aku harus bisa membuka mulut dan lebih banyak berbicara didepan umum.

Hari ketiga pertemuan. Aku jelas bisa melihat mereka lebih dekat. Dan aku mengenal mereka. Itu menyenangkan saat aku bisa diberi kesempatan berbicara lebih banyak diposisiku. Tentu dengan melawan ketakutan itu.

Aku tentunya tidak bisa menyebut mereka dengan karakter mereka satu per satu. Tapi aku mungkin bisa menyebutnya sedikit. Ada diantara mereka yang begitu diam tanpa banyak bicara. Ada yang begitu heboh, dan tidak pernah bisa diam. Tapi jika tidak ada dia, kelompok kita tidak akan berwarna. Ada juga seseorang yang begitu tegas dalam bicaranya. Ada juga yang begitu halus, lembut, bahkan sering tidak terdengar perkataanya. Yah, di kelompok ini seperti memiliki kepribadian yang bertolak belakang.Tapi, kita tersenyum dan tertawa bersama. Kita kompak dan menjaga kebersamaan kelompok ini. Kita rela meluangkan banyak waktu berhari-hari untuk kesolidan kita. Tanpa berpikir tentang diri kita yang telah berkorban banyak ataupun menonjolkan keegoisan masing-masing. Yang perlu kita tahu, bahwa kita adalah satu. Dan melihat salah satu dari mereka seperti melihat diri kita sendiri. Itulah yang kita rasakan.

Kemudian, seseorang pun masuk dan bergabung dalam kelompok kami. Anak baru. Tapi, kami menerimanya dengan hangat. Membuka tangan lebar-lebar untuknya bergabung. Pertemuan-pertemuan selanjutnya dengan kehadirannya bukanlah hal yang begitu spesial. Dia adalah bagian dari kita. Dan seakan-akan dia telah hadir semenjak awal kita bertemu. Dia bukanlah orang asing bagi kita.

Hari H pun semakin dekat. Hanya hitungan hari lagi. Kami saling mengingatkan satu per satu. Menjaga kekompakan itu agar bisa terlihat jelas dikelompok lain. Bisa aku rasakan bagaimana sifat asliku begitu nampak hanya untuk memperhatikan mereka. (Maafkan aku).

Dan hari H pun tiba. Kami berusaha semampu kami. Tidak membuat kesalahan dan tidak membebani anggota kelompok. Pagi-pagi buta kita berkumpul di koridor kampus yang dingin. Aku tidak pernah kuat dengan angin malam, dan saat itu bibirku mulai memutih. Aku kedinginan hingga bergetar jari-jariku. Aku lemas dan jatuh terduduk. Tapi, tiba-tiba saja, seseorang merangkulku. Sedikit memelukku dari samping. Aku tahu siapa dia, tapi tetap aku ingin melihatnya dan memberikan senyum untuknya. Aku tidak apa-apa.

Tiga hari pun berjalan. Tiap pagi buta kita harus menunggu di koridor yang sepi, duduk di lantai yang dingin, dan menunggu di lapangan yang terbuka. Dan saat waktu sarapan tiba, kita saling berbagi makan. Sebungkus berdua, atau bahkan bertiga. Cukup mengenyangkan walau harus melewati waktu seharian. Menjelang sore, perut yang keroncongan membuat tawa diantara kelelahan kami. Roti sebungkus rela dibagi rata. Air minum kadang ludes di mulut mereka. Tapi kami tidak apa-apa.

Hari pertama, saat buku tugas kami dihancurkan. Sedih memang. Kami membuatnya lebih dari lima hari. Membuang banyak waktu dan uang juga untuk itu. Tapi kami langsung kembali bangkit. Kami berkumpul dan kembali mengerjakannya. Yang kami ingat bahwa kami adalah satu. Maka dari itu, kami bisa menyelesaikannya dalam waktu 2 jam lebih.

Hari H2. Hari yang paling berkesan untukku. Bukan, tapi untuk kita semua. Hari disaat kita merasakan dan memerlukan kekompakan. Berbagai permainan kelompok. Disitu kita merasakan kalah dan menang. Saat menang, kita bisa merasakan  kekompakan dari kelompok kita. Dan saat kita kalah, kita merasakan bahwa, itu juga merupakan kesalahan kita. Kita tidak bisa menyalahkan dia atau pun dia. Tapi, masing-masing dari kami selalu mengucapkan kata maaf. Entah itu serius, kita selalu mengatakan dan menganggapnya bercanda. Kita juga tahu itu.


Dan H3, hari istimewa dari dua hari yang sebelumnya. Kami semua disambut oleh Kepala Dekan Fakultas. Disambut teriakan semangat dari semua kakak-kakak panitia.
"Selamat datang di Fakultas Merah"
kemudian kami diiring menuju lapangan Rektorat dan berfoto angkatan disana. Sungguh senang hatiku mengingat setiap geraknya. Kampus yang tidak pernah aku bayangkan, dan fakultas yang tidak pernah diimpikan, juga jurusan yang tidak pernah dibesitkan. Nyatanya aku disini. Itu adalah hal yang luar biasa. Kalimat syukurlah yang tidak pernah lepas aku ucapkan hingga kini.

Hari H pun berakhir. Usaha kami pun tidak sia-sia. Kelompok kami keluar sebagai juara kelompok terbaik. Selain itu juga sebagai juara-juara yang lain. Bisakah kamu membayangkannya? Tidak, mungkin jika kamu mengikuti perjalanan 2 bulan kami ini. Hanya dengan seorang kakak asuh, seorang ketua, juga sekben. Kita bisa menggerakan dua puluh orang serta saling menjaga kekompakan.

Pelajaran yang aku ambil, tidak terhitung. Disetiap pertemuan kami, tidak pernah satupun yang tidak berkesan dan menjadi pelajaran untukku.

Mungkin sedikit yang ingin aku sampaikan. Pertama, aku tidak ingin lagi hanya berlaga mengenal mereka hanya dari melihat penampilannya. Kemudian, ketakutanku. Jika aku terus bersembunyi, kapan aku bisa melawan ketakutan itu. Bukankah waktu hanya terus berjalan dan menciptakan kesempatan, lalu kenapa membuat kesempatan itu terlewat begitu saja?

Kemudian, tentang kekompakan. Bukan lagi bicara tentang keegoisan atau sifat ketidakpedulian. Kita adalah satu dalam kelompok. Dia adalah kita, kita adalah mereka. Jika dia harus jatuh, kita pun ikut jatuh bersama. Tapi kemudian kita kan berpegang tangan lagi untuk bangkit bersama. Bukan saling menunjuk atau menyalahkan. Aku harus menyukai mereka seperti keluargaku sendiri. Walaupun aku tidak suka, aku akan berusaha menerimanya. Begitu caraku memberi kekompakan di kelompok kita ini. Serta, saling membuka dan mengulurkan tangan dari puncak sedang ke dataran yang paling bawah. Kita akan membawanya bersama kita bukan membiarkannya dibawah kita. Itulah konsep kita. Tidak, seperti itulah konsepku. Aku masih tidak tau konsep yang dipikirkan ketua dan teman-temanku yang lain. Tapi mungkin ini sebagian kecil yang bisa diterapkan untuk mencapai kekompakan.

Oh. Aku ingat ketika pertemuan di hari kedua. Setelah perkenalan, dia berkata dengan lirih,
"Gue beruntung jadi anggota kelompok ini."
Kalimat yang meragukanku dan berusaha selalu aku abaikan. Di hari pertemuan pertama, di hari saat kita benar-benar baru mengenalkan diri. Aku penasaran dengan yang dia ucapkan ini. Namun, sekarang aku begitu ingin mengatakannya. Aku ingin mengatakannya dengan suara tegas dan keras.
"Aku beruntung mendapat kelompok bersama kalian !"
Yah, aku beruntung mengenal kalian, aku beruntung bisa bertemu kalian. Terimakasih buat semuanya. Tidak pernah aku lupakan dengan mudahnya semua kebersamaan kita ini. Mari lanjutkan langkah kita. Semangat dalam jurusan masing-masing. Dan sukseslah di masa depan ! Amiin.

Dan pada akhirnya, seorang kakak panitia berkata padaku.
"Kalian bukan lagi kompak, tapi kalian itu SOLID"

*Sahutan untuk Fakultas Teknologi

Thanks for Kak Syifa (Kakak pendamping), Sabilah Makhruf (Ketua), Irfan, Ade, Taupiq, Lutfi, Tegar, Wildan, Ronald, Uwit, Yusuf, Ryan, Billy, Adisti, Annisa, Lintang, Tia, Andini, Kiput, Veny. Kak Danang juga Kakak pendamping kelompok kami.

#TechnoF2015
#MPF_Fateta
#FakultasMerah
#FakultasTeknologiPertanian
#FATETAsolid
#IPBogor


Monggo ditonton themesong kami.. jangan lupa dilike yaa.. Hatur nuhun :)

Jumat, 14 Agustus 2015

Orang akan menilaimu melalui penampilanmu

Aku ingat pertanyaan seorang temanku. Waktu itu, aku hanya duduk melamun karena ngantuk. Ternyata nungguin teman untuk ngumpul buat tugas itu emang bikin ngantuk deh suer wkwk- Gak tau napa selalu aku yang duluan datengnya. Entah aku yang kecepetan, jamnya salah, atau mereka yang kelamaan. Oke, balik ke topik. Aku cuma ngeliatin orang mondar mandir dikoridor kampus, temen2 kelompok lain yang udah serius banget bikin tugasnya. Padahal kita cuma buat tugas ospek yang gak jelas bentuknyaa haha. Dan akhirnya sesosok manusia pun muncul hah ! -anggota kelompokku maksudnya-.

"Assalamualaikum Tin." Sapanya. Dan duduk disamping kanan tepat didepanku.

"Waalaikumsalam wr wb" jawabku lirih.

"Yang lain belum dateng ya?"

"Tau ah. Dari tadi aku sendirian disini. Cuman ngeliatin orang yang mondar mandir."

Dia gak ngerespon. Itu pertanyaan buat basa-basi doang.

Hening. Kaku. Dan kriik kriiik.
Yap. Temenku ini cowok. Dan akuuu, kalo dengan cowok pasti canggung banget deh rasanya. Sumpah dah.

"Kok lama banget ya." Ujarnya. Sok mencairkan suasana. -kayak adegan serius aja-

"Kapan sih mereka on time?" Tanyaku balik.

"Atin yang datengnya kecepetan haha"

"Kan emang harus on time. Generasi mudanya aja kayak gini. Gimana negara bisa maju?" kataku sok keren2 aja haha.

"Haha iya sih. Emang bagus kayak gitu."

"Aku diajarin on time itu udah dari SD. Makanya sampe sekarang kebawa juga."

"Oh ya?" Tanyanya sok2an kaget --
Yaudah. Aku mulai cerita2 aja. Bikin suasana sok akrab biar gak ngerasa aneh.

"Sebenernya gak juga sih. Dari SD sampe SMA kelas dua mungkin ya, aku selalu on time. Tapi kelas tiganya udah mulai molor. Karna udah tau kebiasaan orang2nya pada telat semua haha."

"Tapi pas nyampe dibogor kebiasaan itu ilang. Jadi ontime lagi sekarang." Lanjutku. Dia cuma senyum.

Aku lanjut cerita lagi aja. Sok2an biar deket aja. Cari pengalaman biar ngomong depan cowok gak kikuk lagi haha.

"Pernah tuh. Asramaku kan jauh. Kalo ke kampus harus 15 menitan jalannya. Tapi aku selalu berangkatnya kurang dari 10 menit. Pas nyampe, eh dosennya masuk, mau nutup pintu, akunya muncul dibelakang. Haha"

"Kurang lebih hampir dua bulan kayak gitu. Sekarang mah udah enggak."

"Wah mesti buru-buru banget ya?" Aku tau dia bingung mau jawab apa. Pertanyaannya itu cuma buat aku biar meresa direspon. -Aku tau kok-.

Eh gantian dia yang cerita. Aku mah nyimak ae.
"Iya. Aku juga di SMP emang selalu on time. Sekarangnya aja yang mulai molor. Udah tau pada lelet semua makanya ikutan telat. Hehe"

"Iyah ih bener. Pas tau kalo sering telat kayak gitu, aku juga ikutan telat. Kadang kalo kegiatan ngumpul kayak gini, aku nunggu teman2 bilang kalo udah di TKp. Udah gitu baru aku mandi dan siap2 wkwkwk."

Dia cuma ketawa kecil. Terus dilanjutin lagi.
"Tapi kalo orang sering on time terus datangnya telat tuh perasaannya udah gak enak yah. Berasa kayak gimana gitu."

"Haha iya. Kok tau? Rasa takut, cemas atau apalah hahaha"

"Haha ciee"

Udah. Sampe situ aja percakapan kita. Aku liat hp lagi, dia buka2 tasnya nyiapin peralatan yang dibutuhkan. Kembali suasana hening. Kriik kriik.

Dalam hati, kok mereka lama sih? Dua puluh orang janjiannya jam 9, udah mau jam sepuluh aja baru berdua. Ckckck. Udah gak tau mau ngobrol apa lagi nih sama cowok didepan aku. Mati gaya.

"Dulu Atin pesantren?"
Tiba-tiba langsung ditanya gitu.

"Enggak."

"Oh kirain.."

Baru aja mau buka mulut bikin percakapan baru, tapi akhirnya ketua kelompoknya dateng bersama dua orang pasukan. Haha. Selamat. Gak mesti berduaan lagi. Berasa aneh diliat orang yang lewat.

Tapi pertanyaannya itu loh..
"Apa karakter dan kepribadian aku sampe dia bisa nyimpul dengan mudah banget kalo aku dari pesantren?" Hmm, itu menjadi pr untukku.

Tapi kalau dia bisa menyimpulkan begitu, berarti penampilan adalah cara penilaian orang. Semoga penampilanku sesuai dengan hati, akhlak, dan kelakuanku. Semoga aku menjadi pribadi positive seperti penilaian mereka yang positive dari penampilanku. Amiiinn..

Sabtu, 01 Agustus 2015

Istiqomah? Bisakah aku?

"Bisakah kamu istiqomah didalam jalan dakwah ini?"

Pertanyaan yang dilontarkan oleh temanku ini terasa sulit. Dalam hatiku selalu ingin bisa terus belajar dan berdakwah tentang islam. Tapi saat pertanyaan itu muncul, sesuatu ikut muncul pula dalam hatiku. Sebuah keraguan. Rasa ketidak percayaan diri bergabung menjadi rasa keraguan akan keinginanku. Bisakah aku istiqomah dalam dakwah ini? Aku kembali bertanya dalam hatiku.

Keraguan itu muncul menggoyahkan. Mampukah aku? Jika jawabanku iya, aku takut bahwa jawabanku hanyalah hembusan angin. Aku tidak mampu menepati perkataanku itu. Namun jika jawabanku tidak, artinya aku seorang pecundang yang mengaku kalah sebelum bermain. 

Kau tahu betapa beratnya istiqomah itu?
Maka, aku berusaha menetapkan hati. "InsyaAllah" kata itulah yang keluar dari mulutku. Jawaban yang bukan merupakan janji, namun akan terjadi jika Allah menghendaki. Aku tidak akan tahu apa yang akan terjadi kelak. Aku hanya ingin mengikuti keinginanku dan terus berada dijalan-Nya. Jika sesuatu itu terjadi, maka aku percaya itu adalah kehendak-Nya. Aku akan terus berusaha untuk bisa istiqomah, hanya itu.

Kemudian ku ucapkan, 
"Bismillah"
Aku memulainya saat itu juga.

Kamis, 30 Juli 2015

Perkenalan Sahabat Munji

Hallo Munjiii ! ayoo bangun-banguuun... Shalat subuh yuk!

 Oiya kalo waktu Indonesia bagian barat masih belum subuh ya? hehe. Subuh-subuh begini Atina udah posting ajaa. Tapi karena datanya masih ada di hape dan hapenya lagi bobo, sekarang Atina hanya ingin perkenalan singkat. Yeah ! (Hahaha)

 Ehm, perkenalkan Munji, namaku Atina Anaya (sebenernya sih itu nama pena). Lahir di Kota Ternate, Maluku Utara. Ayah dan ibu sebenarnya orang jawa tulen ! Tapi karena pekerjaan, kita sekeluarga tinggal di daerah ini. Mulai aku lahir sampai aku berusia tujuh belas, aku belum pernah menginjak kampung ibu di Pulau Jawa. Alhasil, aku tidak dikenal sebagai anak keturunan jawa karena sama sekali gak bisa ngomong jawa. Wkwkwk.

 Oke, lanjut. aku adalah anak terakhir dari lima bersaudara. Kakak pertama, seorang polwan dan telah menjadi ibu rumah tangga. Sayangnya, suaminya adalah orang asli Tidore. Maka dari itu, karena ikut suami, dia tidak pernah pulang lagi ke tanah kelahirannya di Jawa. Kakak kedua, berbeda sembilan tahun dariku. Masih belum married dan hendak menyelesaikan kuliah S2 nya di IPB. Kakak ketiga, my twin. Katanya. Berbeda empat tahun dariku. Sekarang sedang menunggu sidang skripsi di kampus swasta di Solo. Dan kakakku yang terakhir, kakak tersayang, tersolmed, dan terkocak. Hanya berbeda setahun denganku. Oleh sebab itu, dia dan aku berasa lebih memiliki banyak cerita daripada kakak-kakak yang lain. Saat ini dia berkuliah di kampus yang sama dengan kakakku yang ketiga, di Kota Solo. Rasanya agak sedih berpisah dengan dia, huhuhu.

 Dan aku, sekarang tahun kedua aku berkuliah disini, di IPB. Tidak pernah terbayangkan olehku bisa berkuliah di kampus terbesar ketiga di Indonesia ini. Bersama kakak keduaku, kami berjanji akan membahagiakan kedua orang tuaku. Semoga Allah membantuku meraih impianku dari sini. Amiin.

Okke, Munjii. Cukup sampai disini dulu. Maaf tulisannya gaje dan terkesan terburu-buru (mau ngejar shalat Shubuh soalnya hehe). Sampai ketemu lagi kawaan ..

Kamis, 25 Juni 2015

Hijabku, karena Allah

Hijab bukan budaya. Dan hijab bukan untuk gaya. Hijab adalah perintah langsung dari Allah sebagai bukti cintanya pada seorang perempuan.

Teringat kisah kecilku. Gadis yang baru duduk di bangku kelas dua SMP. Saat pertama kalinya aku dikatakan sudah dewasa. Rambut hitam panjang yang selalu ku banggakan diperintahkan untuk menyembunyikannya. Tutur kata dan kelakuan yang bebas kemudian diperintahkan untuk menahannya. Jelas saat itu aku sudah tahu tentang baik buruk sesuatu. Namun, aku tidak pernah tahu tentang semua perintah itu.

Pertamanya aku masih saja membantah. Aku hanya anak gadis yang masih labil.
Kali kedua, aku membantahnya lagi. Aku adalah gadis remaja yang harus bisa ikut tren saat itu.
Kali ketiga, aku memikirkannya. Sikap para remaja kini berbeda. Mereka bukan teman seperti dulu.
Kali keempatnya, aku mengikuti perintah itu. Kadang hati terasa berat saat semua teman-teman menertawaiku. Kita masih muda, tak perlulah terlalu membatasi kesenangan saat ini.

Tapi aku berusaha cuek. Aku terus saja berpikir dan berpikir. Kesenangan itu, bukankah kesenangan yang nyata hanya ada setelah kita mati?

Kawan-kawanku semakin tak karuan. Bebas sebebas-bebasnya. Bergaul dengan siapa saja orang disekitarnya. Aku malu. Dan aku pergi berlari dari sana.

Dan suatu kabar pun kemudian tersampaikan. Kawanku harus berhenti sekolah dan mengurus seseorang yang lain. Ia telah berkeluarga.

Ya Rabb. Begitu sayangkah Engkau pada setiap perempuan? Hingga gadis dengan pikiran yang masih kekanak-kanakan saja Engkau beri hidayah. Gadis yang baru menginjak usia baligh, bagitu pedulinya Engkau padanya? Bahkan sempat berulang kali gadis itu membangkang, masih ada saja rasa sayang-Mu padanya.

Aku malu.
Hijab untuk menjagaku dari luar. Sedang perilakuku menjagaku dari dalam. Dan Allah telah tunjukan padaku, bahwa perintahnya tidak pernah salah.
Ukhti,
Selalu aku yakin. Allah menjagaku. Allah menyayangiku.
Tidak, Allah menjaga kita. Allah menyayangi kita. Dan sampai kapan cinta Allah itu kamu abaikan, sedang kita sendirilah yang mendapat berkah dari padanya?

Jumat, 19 Juni 2015

Cerpen : Burung Gereja

Judul: "Burung Gereja"


Sebuah kisah sederhana tentang seorang ayah..

Di pekarangan rumah sederhana, sebuah bangku panjang hitam telah menjadi saksi bisu pendirian rumah itu. Dan hingga saat ini, bangku tersebut masih bisu dan merelakan tubuhnya untuk diduduki oleh dua orang pria yang tidak lagi asing. Dua orang pria si penghuni rumah.

Seorang di antaranya memakai kemeja rapih yang lengkap dengan dasi biru menggantung elegan dilehernya. Sepatunya bersih, jam tangan bermerek terkenal. Mata cokelatnya jeli membaca rentetan tulisan dari koran pagi. Wajahnya tegang, kaku, dan terlihat begitu serius bahkan ia juga mengabaikan orang yang saat itu sedang duduk disampingnya.

Salah seorang lagi, pria dengan kemeja yang tidak lagi serapih kemeja milik orang disebelahnya. Sepatunya tak semengkilap sepatu orang disampingnya. Dan umurnya yang lebih dari dua kali lipat dari umur orang berdasi itu.

Si pria tua hanya duduk diam dalam kekakuan. Sekilas ia melirik pada pria muda disebelahnya. Pria muda masih tetap fokus dalam kesibukannya sendiri. Hingga pria paruh baya ini mulai mencari-cari apa yang setidaknya bisa membuat pria muda disampingnya itu mau menoleh ke arahnya.

Matanya menyapu semua yang ada di pekarangan rumah kecilnya. Kemudian seekor burung gereja terbang rendah ke bawah dan hinggap di salah satu tiang pagar rumahnya.

"Apa itu?" tanya pria tua.

Si pria muda hanya melirik sekilas ke tempat burung kecil itu hinggap.

"Itu burung gereja." Jawab pria muda. Ia kembali melanjutkan membaca korannya.

Burung kecil itu kembali terbang dan hinggap di ranting pepohonan dekat mereka duduk.

"Apa itu?" tanya pria tua lagi.

Pria muda melirik ke arah yang di tunjuk.

"Itu burung gereja" kata pria muda.

Burung kecil itu kemudian terbang lagi dan akhirnya turun ke tanah.

Si pria tua kembali bertanya pada pria muda,

"Apa itu?"

Si pria muda mulai kesal dengan pertanyaan sama yang diajukan oleh si pria tua. Ia menutup kasar koran yang dipegangnya dan dengan nada suara tinggi ia menjawab,

“Itu burung GE RE JA !! Sampai kapan ayah akan bertanya hal yang konyol seperti itu lagi ?"

Mendengar hal itu, si pria tua terdiam sejenak, kemudian ia berdiri dan berjalan masuk ke dalam rumah sederhananya.

"Ayah, mau ke mana, yah? Ayah!" panggil si pria muda. Pria tua tetap melangkah tertatih tanpa menoleh ataupun menjawab panggilan dari anaknya.

Melihat ayahnya pergi tanpa mengatakan apa-apa, sang anak merasa bingung. Namun rasa kesalnya masih begitu besar dalam hatinya. Si pria muda tertunduk diam di tempatnya. Beberapa saat kemudian, sang ayah kembali datang sambil membawa sebuah buku bersampul hitam. Ia kembali duduk di samping si pria muda, anaknya.

Sang ayah memberikan buku hitam itu ke tangan sang anak. Si pria muda bingung dengan tingkah laku ayahnya yang cuma mengisyaratkannya untuk membaca isi buku hitam tersebut. Dengan hati-hati, si pria muda membuka satu per satu dari halamannya.

"3 Oktober 1982 (sekitar 25 tahun yang lalu), hari ini aku duduk di taman rumah bersama putera tersayangku. Kemudian ia bertanya padaku saat melihat seekor burung yang sedang terbang rendah ke tanah.

'Apa itu, ayah?' tanya puteraku dengan polos.

'Itu burung gereja,' jawabku.

Saat burung itu terbang dan berpindah tempat lain, anakku bertanya,

'Apa itu, ayah?'

'Itu burung gereja,'

Dan dia kembali bertanya saat burung itu kembali terbang dan berpindah di tempat yang lainnya.

'Apa itu, ayah?' aku pun kembali menjawab,

'Itu burung gereja'

Anakku terus bertanya pertanyaan yang sama hingga 21x. Aku dengan sabar mendengar serta menjawab semua pertanyaan itu, dan disetiap kali dia bertanya, aku memeluknya.."

Si pria muda terhenyak. Ia menatap dalam mata teduh  si pria tua. Kekuatannya tidak lagi sekuat dulu, tapi kesabaran dan cintanya masih dan bahkan bertambah dari yang dulu. Pria paruh baya yang duduk di sampingnya saat ini, tersenyum hangat seperti sosok yang dulu selalu memeluknya. Si pria muda menyadari dan memeluk tubuh sang ayah. Menggantikan hal yang dilakukan ayahnya sekitar 25 tahun yang lalu. Hal yang telah lama tidak ia dapatkan lagi dan hampir tidak ada waktu yang ia berikan untuk bisa bersama sang ayah. Ia telah melupakannya.-End




“Semoga kesuksesan tidak membuatku lupa  jasa orang tuaku” 


Ditulis oleh : Anita Rusdiana

Rabu, 17 Juni 2015

Cerpen: Miss Him

Ini cerita seorang temanku. Bisa dikatakan Based on True Story  tapi beberapa bagian sengaja aku buat sedikit fiktif. Ini hadiahku, kawan. Maaf kalau kamu tidak suka. Semoga bisa buat kamu lebih kuat dan bahagia dengan semua kenangan yang kamu miliki.

(Bukan dengan nama sebenarnya. Kesamaan nama terinspirasi dari cerpen buatannya).

Tgl : 14 Juni 15
Judul :
Miss him

Ravi melaju motor besarnya menuju jalan raya. Toni terus mengikutinya dari belakang. Wajah Toni tiba-tiba berseri ketika ia berhasil menemukan apa yang dipikirkannya. Motor metiknya semakin kuat di gas dengan sengaja untuk bisa mengejar dan menyamai motor Ravi. Tapi, tiba-tiba saja Ravi bergerak miring ke kanan. Toni kaget. Remnya tidak sempat ia tarik. Ban motor Toni langsung menabrak bagian belakang motor Ravi. Motor Ravi langsung jatuh tanpa kendali sedang tubuhnya terlempar ke sisi lain jalan. Toni yang juga terjatuh dari motornya langsung berdiri mencari Ravi. Tapi, gerakannya tidak secepat mesin. Dari sisi lain jalan, sebuah mobil melaju kencang ke arah Ravi yang terlentang tidak sadarkan diri. Toni ingin menariknya tapi.. ia terlambat.

---
Resty masih sibuk sendiri dengan ponselnya. Orang disebelahnya hanya mengamati Resty dengan kesal.

"Ape?" tanya Resty tanpa menoleh sedikit pun pada orang itu.

"Liat gue napa?! Masa' saingan gue hape, sih?!"

"Oh kalo gitu lo kalah, karna gue lebih milih hape gue daripada lo hahaha"

Ravi merampas hape Resty kasar.

"Ih, apaan sih?! Sini hape gue !"

"Gak. Selama lo disini, hape lo gue pegang."

Resty langsung tersenyum aneh.

"Apa?" tanya Ravi heran.

"Kangen ya? Lo kangen sama gue kan? Haha"

"Idih, pengen banget di kangenin. Dasar jones."

"Ih siapa yang jones? Bukannya kebalik ya? Ngaku deh. Udah keliatan kok hehe. Kangen kan, kan, kan?" goda Resty. Ravi menatapnya kesal.

"Iya, Reessstiiii. Akuuu kaangeeeen bangeet sama kamuuu. Puas?"

"Iih jadi geli ah."

"Haha dasar jones"

"Iih apaan sih?! Lo tuh yang jones."

"Hahaha" Ravi hanya tertawa melihat ekspresi Resty. Seperti sudah hobinya membuat wajah gadis ini cemberut kesal.

Gadis ini, namanya Resty Ayu. Gadis yang baru saja masuk di perguruan tinggi tahun ini. Rambut hitam bergelombang, berkulit putih langsat, dan tubuhnya kecil tapi tidak jauh beda juga seperti seorang model. Hanya saja gaya dan kelakuannya seperti bocah. Lebih tepatnya seorang anak laki-laki. Mungkin karena dari dulu ia selalu tinggal dengan anak laki-laki. Jadi tidak salah kalau sekarang gayanya jadi sedikit terlihat tomboy. (Hehe maaf, kebawa perasaan jujur nih. Tapi tetap cantik kok hehe).

Ravi Anggara, sepupu sekaligus sahabat Resty. Mereka sudah bersama sejak kecil. Mereka lahir di bulan dan tahun yang sama. Mereka juga tinggal dan bersekolah di tempat yang sama mulai dari playgrup hingga SMA. Bagi Resty, Ravi adalah orang yang paling berharga dalam hidupnya. Dimanapun ada Ravi pasti disana juga ada Resty. Mereka sudah seperti anak kembar dan tidak bisa dipisahkan.

Pernah suatu waktu, ayah Resty dipindah kerjakan di kota lain. Resty menolak tidak ingin pindah karena harus berpisah dengan Ravi. Ia kabur dari rumah dan menginap di kamar Ravi beberapa hari. Ayah dan ibu Ravi juga tidak sanggup membujuk Resty. Ayah hanya bisa geleng kepala melihat kelakuan putri sulung kesayangannya.

"Apa sih?"

"Jalan yuk."

"Kapan?"

"Tanggal 12 gimana?"

"Yah gak bisa, Rav. Udah ada agenda hari itu. Maaf ya"

"Yah, jadi lo gak pulang dong."

"Kayaknya sih iya. Maaf ya."

"Yaudah deh. Lain kali aja."

"Okey."

---
"Aaarggh.."
Resty menggeram kesal. Sejak dua jam yang lalu pikirannya tidak bisa fokus menyelesaikan soal-soal kalkulus didepannya. Resty menyerah dan akhirnya memilih keluar kamar menuju balkon untuk mengurangi penatnya.

Hape Resty bergetar terus-menerus sejak tadi. Resty yang sadar akhirnya melihat panggilan yang masuk. Ada dua puluh tiga panggilan dari ibunya. Kenapa? Resty bertanya dalam hati. Seperti menjawab pertanyaan itu, sebuah pesan masuk dari ibunya.

"Dari : Ibu

Ravi kecelakaan. Sekarang dia sedang dibawa ke UGD"

Dug. Jantung Resty tiba-tiba terpukul dengan kencang dan sejenak terasa berhenti berdegup kemudian kembali berdegup dengan kencangnya. Pikiran Resty tidak sanggup  membayangkannya.

Apa? Ravi..

Dengan sekali sigap Resty menarik dompet dan jaketnya dan pergi begitu saja. Ravi, kamu gak papa, kan? Kamu kuat, kan? Yah, kamu pasti kuat. Resty masih tidak percaya. Iya terus bergumam dalam hati untuk meyakinkan dirinya sendiri. Tanpa sadar air matanya jatuh begitu mulus kepipinya.

---
Brruuk.
Ravi membuka pintu kamar Rasty dan menyeruduk masuk ke dalam kamar. Rasty sudah tidak terkejut. Itu adalah hal yang selalu dilakukan oleh sepupu kesayangannya ini ketika dia kembali ke rumah. Ravi mengambil tempat duduk di ujung kasur Resty.

"Kenapa? Lo putus sama Dewi?"

"Sotoy lu"

"Tuh, ada tulisan dijidat lo. LAGI PATAH HATI."

"Uh, sialan" ujar Ravi dibarengi bantal yang melayang mulus ke arah Resty. Resty tertawa puas penuh kemenangan.

"Lo kapan liburnya, sih? Lama banget."

"Kenapa sih, kangen ya?"

"Serius, Res."

"Iye iye. Masih lama, Rav. Bulan Agustus.."

"Yah, kok lama banget sih."

"Iya nih. Nunggu uas dulu. Kenapa?"

"Pengen jalan bareng lo aja."

"Yah, maaf ya.. Sorry banget"

"Santai bro. Yaudah, tunggu bulan depan aja."

"Bra bro ! Memangnya gue cowok apa?!"

"Lah, kan iya. Haha"

"Ih. Tapi gue lagi gakda duit nih. Lo yang traktir kan?"

"Iye iye. Gue tau kok. Lo tinggal bawa diri aja. Dasar anak kosan."

"Hehehe" Resty cuma nyengir kuda.

Saat ini Resty sedang melanjutkan kuliah di kota sebelah. Oleh sebab itu, Resty seringkali bolak-balik dari rumah ke kosannya. Sedangkan Ravi masih harus melanjutkan sekolahnya disini. Dulu, Ravi pernah tidak sekolah selama setahun karena sakit. Dan dia juga harus tinggal setahun lagi untuk mengejar keketinggalannya. But, it is not problem for him. Dan Resty untuk pertama kalinya harus berpisah dengan Ravi.

Ravi mengambil bingkai foto yang ada diatas meja. Terlihat gambar dirinya dan Resty yang masih duduk di bangku SD dulu.

"Gue kangen banget masa ini. Gak bisa bayangin lagi wajah lo yang panik waktu itu. Haha"

"Kenapa? Lo mau kita kesana?"

"Terus lo mau gue yang bayarin ke sana juga? Enak aja."

"Haha, siapa tau?"

“Uh pengen yang gratisan aja”

Foto itu ketika mereka masih duduk dibangku kelas enam SD. Resty melonjak kegirangan ketika mendengar ayahnya ditugaskan ke Jogja. Seharian Resty membujuk ayahnya agar ia juga bisa ikut kesana. Dan ayahpun tidak pernah bisa menang melawan kemauan putrinya ini. Tentu saja, Ravi juga ikut berlibur ke Jogja bersama Resty.

Disana, Resty dan Ravi bermain ke taman kota dengan sepeda. Resty mati-matian ingin dia yang membonceng Ravi, dan Ravi akhirnya hanya manut dengan kemauan Resty itu.

Buuurk. Sepeda mereka terjatuh mulus menabrak terotoar jalan. Wajah Resty langsung panik dan berdiri menarik tangan Ravi yang ikut terjatuh dibelakangnya.

"Ravi.. Kamu gak papa, kan? Apa kamu luka? Mana yang sakit? Gak ada yang berdarah, kan?" Resty langsung menyerbunya dengan pertanyan itu.
Ravi menatap wajah Resty yang bercampur panik, khawatir, cemas dan pucat.

"Aku gak papa. Tanganmu tuh yang ngocor." ujar Ravi. Resty melihat sikunya yang berdarah.

"Waah..Hehe iya, Rav. gak nyadar."

Pandangan Resty tiba-tiba mulai kabur. Warna yang dilihatnya bukan lagi warna sebenarnya. Hanya ada satu warna. Resty tau, sebentar lagi dia pasti akan pingsan.

"Kamu gak papa, Res? Lutut kamu juga berdarah.." suara Ravi akhirnya kembali membuat Resty tersadar.

"Waaaaah... iya. Gapapa kok, Rav hehe."

"Yaudah, kita pulang sekarang ya. Biar diobati dulu lukamu."

"Rav, kamu yang bawain sepedanya ya? Aku pusing. Hehe."

"Iya. Aku juga gak mau kita jatuh untuk kedua kalinya."

"Hehe"

Di atas sepeda, pandangan Resty masih buram dan terasa berputar-putar sekarang.

"Res, kamu bener-bener gak papa, kan?" tanya Ravi cemas.

Resty melihat luka di sikunya.
"Ravi.. Sikuku bolong, Rav. Hahaha" kata Resty dibalik punggung Ravi.

"Tahan dulu, bentar lagi nyampe, kok"

"Iya, Rav."

Sampai di rumah, ibu membersihkan luka Resty. Resty menangis, berteriak kesakitan, dan mengomel tidak jelas. Ravi masih melihatnya sedih. Ayah hanya tertawa mendengar ocehan anaknya yang tidak jelas itu.

"Jadi?" Resty membuyarkan lamunan Ravi.

"Apa?" Ravi berbalik tanya.

"Rav, dari tadi lu gak dengerin gue ngomong, ya?"

"Hahaha. Maaf. Jadi?"

"Jadi, lu mau kuliah dimana? Ke kampus gue aja gimana? Biar gue punya temen balik. Hehe"

"Maksud lo biar gue jadi ojek pribadi lu, gitu? Idih. Ogah."

"Hehe, kan ngirit ongkos, Rav. Hahaha"

"Uh, dasar jones."

"Trus? Lo mau lanjut ke mana?"

"Gue pengen lanjut ke STAN, Res. Tapi gak yakin nih."

"Gak yakin? Tumben banget seorang Ravi jadi gak pede"

"Iya nih. Takut semua pesertanya kalah sama gue. Hahaha"

"Uuuh. Dasar"

"Hahaha."

Tidak lama, terdengar suara ibu Resty yang memanggil mereka makan. Dengan sekali gerak, mereka berdua langsung ngicir ke ruang makan. Kalau urusan makanan mereka memang nomer satu. Apalagi masakan ibu Resty yang selalu menjadi hal yang ditunggu-tunggu.

---
Resty terjebak macet. Air matanya terus mengalir tanpa bisa ia tahan. Rav, lo gak papa, kan? Gue tau lo kuat. Tunggu sampe gue datang, Rav. Gue mohon. Resty tidak berhenti berdoa dalam hati. Ia masih tidak bisa percaya hal ini.

Hape Resty kembali bergetar. Sebuah pesan masuk.
"Dari : Ibu

Kamu yang sabar ya, nak. Ternyata Allah begitu menyayangi Ravi. Doakan saja, semoga dia bisa tenang disana."

Resty terpaku. Jantung Resty terasa berhenti seketika. Ia merasakan sesak luar biasa sekarang.

Apa? Ravi..

Resty mencoba menarik napas untuk menenangkan diri. Tapi yang terjadi malah ia menangis sekuat yang dia mau. Sopir taksi hanya melihat sedih dari kaca. Sejak tadi,  mata Resty sudah merah karena menangis . Tapi, apa boleh buat. Dia tidak bisa melakukan apa-apa di jam macet seperti ini.

---
Saat ini sedang libur kelulusan. Lebih tepatnya libur untuk Resty karena besok masih ada ujian kenaikan kelas untuk Ravi. Tapi, sekarang mereka malah jalan-jalan di Taman Mini atas permintaan Resty.

"Jalan lagi yuk." ujar Resty setelah hampir setengah jam berkeliling.

"Kemana?"

"Ke Ragunan. Pengen liat gorila tua"

"Wah ternyata lo lagi kangen sama kembaran lo, ya? Hahaha." ledek Ravi.

Resty hanya manyun.
"Kan kembaran gue itu elu. Jadi lo itu... Haha" ujar Resty dengan kalimat setengah menggantung.

"Sialan lo. Sejak kapan kita kembar?"

"Hahaha"

Tiga puluh menit kemudian mereka sudah sampai di kandang gorila yang dimaksud.

"Mana gorilanya?"

"Udah mati kali. Lo sih, gak pernah jengukin."

"Yee. Lo yang seharusnya rawat dia. Tuh kan, kalo dia mati kan kasihan."

"Nah, lo kan kembarannya."

"Lo cowoknya."

"Emang lo tau dia cowok ato cewek?"

"Oh iya ya. Hahaha cewek kok."

"Hahaha dasar, sotoy"

"Terus gimana? Mau balik sekarang?"

"Yah sayang. Udah nyampe sini kok balik sih."

"Yaudah, terus?"

"Cari minum yuk."

"Okke"

dua puluh menit sudah Resty dan Ravi berputar-putar mencari minuman yang Resty maksud.

"Kok gak ada sih."

"Yaudah, emang lo yang lagi gak beruntung hari ini."

"Yaaah."

"Gimana? Masih mau ke tempat lain?"

"Udah ah, capek gue. Lagian besok kan lo masih ada ulangan."

"Tenang, Entar kalo gue tinggal kelas lagi, gue bilang kalo lo nyulik waktu belajar gue biar gue gak dimarahin sendirian. Haha"

"Enak aja. Ayo balik."

"Yah gak jadi jalan lagi?"

"Buruan"

"Okke. Siap, Madam. Hehe"

---
Resty sudah berdiri terpatung menatap wajah Ravi yang membiru. Tangannya bergetar ingin menyentuh wajah Ravi.

"Jangan, Res. Dia sudah bukan Ravi." Suara ibu menghentikan gerakannya. Air mata Resty kembali terjatuh. Dia benar-benar tidak percaya, bahwa orang yang terbujur kaku di hadapannya saat ini adalah teman, sahabat, dan kakak terbaiknya. Resty sudah tidak bisa menyangkalnya lagi saat ini. Ia hanya bisa menangis.

"Ini bukan kesalahannya, tapi saya. Saya yang menabrak motornya. Saya.. Saya.. saya minta maaf. Saya juga tidak bisa menariknya saat.." terdengar suara seseorang dengan tangis sesenggukan.

Resty melirik tajam. Tiga orang anak SMA dari sekolah yang sama dengan Ravi. Resty menyipitkan mata melihat salah satu yang sedang berbicara sambil terus menangis. Wajah Resty berubah marah ia hendak menghampiri dan menampar wajah anak itu sebelum akhirnya ia mendengar lagi kata-kata yang ia ucapkan.

"Maaf.. Maaf.. Maaf.."

Resty diam. Kepalan tangannya perlahan mulai longgar. Ia tahu, ia juga tidak bisa menyalahkan anak itu. Disudut lain ruangan, Bang Rio, kakak Ravi, menangis sesenggukan tanpa suara. Resty kembali terhenyak. Langkah Resty baru akan menghampirinya, tapi saudara sepupunya yang lain telah datang dan menenangkannya. Resty kembali tertahan, mungkin mereka lebih bisa menenangkan Bang Rio daripada dirinya.

Beberapa saat kemudian, wajah Ravi akan ditutup dengan kain putih. Resty mendekat ingin melihat wajah sepupunya itu untuk terakhir kali. Ingin sekali ia mencium keningnya. Tapi kembali dicegat oleh ibu yang berdiri disampingnya.

"Ia sudah di wudhukan." ujar ibu.

Resty terhenyak. Ia menahan amarah sendiri. Untuk terakhir kalinya, ia bahkan tidak sempat untuk menyentuh ataupun mencium sahabat kecilnya. Air mata Resty tumpah. Ia hanya bisa menangis melihat kain putih yang menutup wajah tampan sepupunya.

---
Sehari, dua hari, rasanya Resty masih tidak bisa percaya. Hatinya selalu berusaha ikhlas, tapi rasa kehilangan memang tidak bisa membuatnya berhenti manangis.

Suatu waktu, Resty bercerita kepada ibunya bahwa ia melihat sosok Ravi. Sangat jelas ia tahu kalau orang itu adalah Ravi. Cara berjalannya, ia tahu betul bagaimana gaya Ravi ketika berjalan. Dan dia tidak pernah bisa melupakan itu. Tapi, apa yang Ravi lakukan? Ia hanya mengikuti kemana pun Bang Rio pergi. Saat makan, berjalan, Ravi terus membuntuti Bang Rio, kakaknya. Resty terhenyak. Entah itu hanya sekedar mimpi atau bukan. Tapi ia yakin, semakin ia berat melepas Ravi, semakin berat pula untuk Ravi bisa tenang di alam sana. Resty menyadari hal itu. Ibu hanya bisa menenangkan hati putri sulungnya ini. Ibu juga tau kalau putrinya bisa mengerti lebih banyak tentang hal semacam itu. Ibu hanya bisa terus mengingatkan untuk Resty bisa ikhlas dan kuat. Dan Resty membenarkan.

---
Saat ini, sudah hari ke-14 sejak kepergian Ravi. Resty duduk dihadapanku dengan wajah yang masih jelas nampak ketidakpercayaannya. Kita bercerita begitu banyak hal. Tawanya, aku pikir dia bisa tertawa seperti itu hanya untuk menunjukkan padaku bahwa dia sudah melupakan kejadian tentang sepupunya. Tapi, aku bisa membaca dengan jelas tulisan dari raut tawa manisnya. Resty masih merasakan kehilangan yang begitu besar dalam hidupnya.

Hingga disuatu titik, akhirnya Resty mulai berbicara tentang Ravi, sepupu terbaiknya, kakak yang luar biasa baginya, sekaligus sahabat seumur hidupnya. Dan saat itu pula, Resty mengakui rasa ketidakpercayaannya itu. Resty menangis. Dihadapanku, pada akhirnya aku bisa benar-benar melihat keadaan Resty sesungguhnya saat ini.

Hari ini kita masih ada ujian, dan aku tau, pikirannya juga tidak bisa menerima semua yang telah ia pelajari. Ujiannya, ia seakan menyerah dengan ujiannya ini.

Resty sempat tersenyum padaku ketika menceritakan semua kenangannya bersama Ravi.

"Luka itu, luka saat kita jatuh dari sepeda, ini, masih ada bekasnya. Masih sangat jelas, kan? Itulah kenangan yang tidak pernah aku lupakan selama hidupku bersama dengan Ravi.

Dan,

Janji kita, setelah aku selesai uas nanti, kita akan pergi ke Taman Mini dan jalan-jalan lagi ke Ragunan. Tapi sepertinya aku akan pergi sendirian." ujar Resty.

Ia menangis.

Maaf.
Maaf, aku tidak tahu cara menenangkanmu. Maaf aku tidak tau cara menghiburmu. Maaf aku juga bahkan tidak tau bagaiman cara menguatkanmu dan mengembalikan ceriamu seperti dulu. Dan, maaf, aku malah membuatmu kembali menceritakan sesuatu yang menyakitkan bagimu. Maaf, maaf, bukan maksudku.. Tapi, semua kenangan itu, aku berharap bisa membuat kamu bahagia dengan semua kenangan yang kamu miliki bersama Ravi. Kenangan itu bukan menyakitkan, tapi itu kenangan yang paling membahagiakan. Aku tahu kamu kuat, Res. Tersenyumlah karena Ravi juga akan tersenyum ketika melihatmu tersenyum.

---------oooo-------- end


Tulisan-tulisan Resty.~

"Masih.. Masih... Unbelieved.."

"'Buat ikhlasin sesuatu yang kita sayang pergi itu memang susah, tapi yang jelas perginya dia udah Tuhan atur, dan pasti itu yang terbaik :) -Mario Teguh.' Iya bener :') bener ga Rav? "

"Besok.. Padahal besok pingin foto bareng waktu udah di poles..tapi elu nya... :( besok dateng ya Rav :') maaf ga bisa dateng ke tujuh harian elu :) maafin"

"Aku kangen sama kamu, Rav.."

"Rav.. Rav..
Biasanya kalo acara kayak gini, elu yang bantuin gue :)
haaafft..."

"Masih gak percaya, Rav.."

"Pengen ketemu elu Rav.. :("

"I hope we can...
Meet.."




"Makasih ya Rav.. Selama 19 tahun ini selalu nemenin gue dan selalu ada saat gue susah.. Makasih banget :') maaf banget gue ga ada saat lu susah :") maaf banget gue gak sempat nemenin lu saat di UGD :'( gue sayang lo Rav.. Lu udah kayak kakak gue sendiri.. Gue bener bener kehilangan Rav :'( bismillah.. Lu selamanya jadi sepupu + kaka gue. Forever.! I Love You my Brother.. Selamat jalan.."





"Miss him :'("


Ditulis Oleh : Anita Rusdiana

Senin, 15 Juni 2015

Dia, mereka (I), & mereka (II)

Seseorang berkata padaku,

"Mencari musuh itu mudah, tapi mencari teman sejati itu sungguh sulit !"

Awalnya aku tidak pernah membayangkannya. Seseorang yang aku kenal, dia selalu menemaniku kapan pun dan kemana pun. Selama itu kita bersama, dan aku mulai percaya padanya.

Namun, sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan terjadi. Kita bukan lagi seperti permen karet yang saling menempel. Tapi kita adalah magnet yang berbeda kutub dan saling menjauh satu sama yang lain.

Mungkin selama beberapa waktu aku butuhkan untuk memaafkan semuanya. Tapi sepertinya aku trauma.

Kemudian, aku hanya mengikuti alur. Aku tersenyum saat teman-temanku tersenyum. Aku bercerita saat teman-temanku bercerita. Tapi tetaplah, rasa takut itu selalu ada saat aku mulai merasa dekat dengan mereka. Mereka berdua tidak menolak, mereka malah terus berusaha meyakinkanku.

Mereka tau tentang masalahku, tapi mereka tetap diam dan terus mengoceh tentang kepribadian mereka masing-masing. Aku bertanya, apakah mereka tidak pernah merasa takut dengan keterbukaan mereka? Tapi aku terhenyak dengan jawaban mereka.

"Sahabat itu, ketika kamu meresa nyaman bersama mereka. Bisa menerima semuanya tentang mereka. Meskipun sahabat juga bisa marah, tapi dia tidak pernah bisa membenci."

Aku mengingatnya, untuk pertama kalinya setelah traumaku, aku kembali tersenyum. Senyum tulus untuk sahabatku. Dihadapan mereka. Bersama dengan mereka. Mereka membantuku keluar dari rasa takutku. Aku melupakan masalahku, aku melupakan tentang kisahku. Dan aku yakin telah memaafkan dia. Dia yang memberiku trauma itu, aku bisa melupakan semua kesalahannya.

Waktu yang berlalu membuat kita terpisah. Aku kembali mengenal orang-orang yang baru dengan lingkungan yang baru. Aku sedikit takut, apakah aku bisa bertemu dengan orang yang seperti mereka berdua yang mau menerimaku apa adanya? Entahlah. Dan waktu memang tidak pernah berhenti mengajariku. Aku pada akhirnya mengenal mereka.

Ragu. Tidak yakin aku bisa mengenal mereka semua dengan pasti. Dan aku yakin waktu jugalah yang akan melakukan itu padaku.

Siapa mereka? Tidak sengaja kita berkumpul dalam satu waktu tak terduga. Mereka bilang kita semua sama. Dan kita ditakdirkan untuk bertemu dan berkumpul. Jujur saja kawan, aku mulai takut dan aku ragu.

Satu per satu aku bisa melihat pribadi mereka. Merajuk saat ada kecemburuan. Marah ketika ada yang disembunyikan. Dan tertawa ketika melihat kekonyolan masing-masing perbuatan mereka. Aku tersenyum, aku kembali menemukan senyumku dari ketakutanku. Dari mereka.

Tik tik tik. Kembali waktu yang memisahkan aku dengan mereka. Kali ini perpisahan yang jauh. Bahkan untukku yang harus pergi seorang diri. Ini adalah tugas, ini adalah ujian. Aku perlu meyakinkan akan itu.

Tapi kemudian rasa takut itu kembali hadir. Aku, datang seorang diri ditempat yang asing, di lingkungan orang-orang asing. Aku merasa begitu takut saat ini. Sahabat, bisakah aku bertahan disini?

Aku hanya perlu beradaptasi. Kembali aku mengingat tentang perjalananku. Mereka semua adalah pelajaran bagiku. Aku bisa menemukan seseorang seperti mereka disini. Dan aku yakin, waktulah yang akan mempertemukanku.

Dan seseorang berkata padaku,

"Mencari musuh itu mudah, tapi mencari teman sejati itu sungguh sulit !"

Aku tidak akan pernah lupa ucapan itu. Terima kasih telah memberiku peringatan. Aku percaya Allah tidak akan membiarkanku sendirian. Walaupun bukan sekarang, tapi aku yakin di suatu saat nanti.

Untuk kalian semua, terima kasih telah menemani dan memberi warna. Mohon tetaplah seperti ini dan terus beri aku semangat. Sekali sahabat tetaplah sahabat. Tidak pernah ada kata 'mantan' untuk sahabat.

Satu kata yang belum pernah aku benar-benar mengucapnya,

Maaf.

Pernah aku tidak percaya pada kalian.

Juga kata yang begitu ingin aku ucapkan untuk kalian,

Terima Kasih.

Aku hanya kembali hidup berkat dukungan kalian.

Dan kata yang ingin aku sampaikan saat ini,

Miss u.

Saat aku benar-benar merasa tidak bisa menemukan sosok kalian disini.
:)


To my best best best and the best friend.

S L H, Dhani H, Desta A, Nurhasanah I, Fadhila D A, Rizky S I, Hidayah N, Vita N B, Eda Z B, Whita J.

Sabtu, 13 Juni 2015

Lirik Ost Petualangan Sherina

Flashback ke masa SD. Jadi ingat film Petualangan Sherina. Salah satu film favorite waktu kecil. Jadi pengen nyanyi-nyanyi lagi dengan ost dari filmnya. Just for fun :D

Ending~
Bila kita dapat memahami
Matahari menemani
Kita dalam kehangatan
Hingga sang rembulan bersenadu
Meninabobokan seisi dunia
Dalam lelap setia tanpa terpaksa

Bila engkau dapat mengerti
Sahabat adalah setia
dalam suka dan duka
Kau kan dapat berbagi rasa untuknya

Begitulah seharusnya
Jalani kehidupan
Setia.. setia.. dan tanpa terpaksa

Mengapa bintang bersinar
Mengapa air mengalir
Mengapa dunia berputar
Lihat segalanya lebih dekat
Dan kau akan mengerti


Lihat Lebih Dekat
Hatiku sedih
Hatiku gundah
Tak ingin pergi berpisah
Hatiku bertanya
Hatiku curiga
Mungkinkah ku temui kebahagian seperti disini

Sahabat yang selalu ada
Dalam suka dan duka
Sahabat yang selalu ada
Dalam suka dan duka

Tempat yang nyaman
Kala ku terjaga dalam tidurku yang lelap

Pergilah sedih
Pergilah resah
Jauhkanlah aku dari salah prasangka
Pergilah gundah
Jauhkanlah resah
Lihat segalanya lebih dekat
dan ku bisa menilai lebih bijaksana

Mengapa bintang bersinar
Mengapa air mengalir
Mengapa dunia berputar
Lihat segalanya lebih dekat
Dan kau akan mengerti

Rabu, 10 Juni 2015

Cerpen Singkat !


Tgl : 6 Mei 2015
Judul :
Waktu ayah

Ini cerita tentang gadis kecil yang baru duduk si kelas dua
SD. Ayahnya adalah seorang pegawai hebat yang duduk di
kursi tinggi di suatu perusahaan. Uang ayahnya begitu
banyak sampai2 semua yang di inginkan si gadis kecil pasti di
belikan oleh sang ayah. Tidak salah jika ayahnya adalah
seorang pegawai yang rajin. Setiap pagi2 sekali sang ayah
pergi ke kantor sedang si gadis kecil masih terbuai dalam
mimpi. Dan saat ayahnya pulang pada malam hari, si anak
sudah jatuh kelelahan karena bermain seharian.
Suatu pagi, gadis kecil bertanya pada ibunya,
"Ibu, apakah ayah tidak bisa mengantarku pergi ke sekolah
hari ini?"
"Tidak, nak. Ayah sudah berangkat kerja pagi2 sekali" jawab
sang Ibu.
"Lalu, apakah besok ayah bisa datang ke pertemuan orang
tua di sekolah?" Tanya si gadis kecil lagi.
"Tidak, nak. Ayah harus pergi ke kantor. Besok ibu yang
akan datang ke pertemuan itu." Jawab Ibu lagi.
"Apakah ayah juga tidak bisa menemaniku bermain di hari
libur nanti?"
Ibu menggeleng.
"Ayah harus bekerja. Ayah punya tanggung jawab untuk
menafkahi kita, nak."
"Apa gaji ayah sangat banyak?" Si gadis kecil masih terus
bertanya.
"Ya, dengan uang ayah, kamu bisa beli baju baru dan juga
mainan baru." Jawab sang Ibu.
Si gadis kecil diam sesaat lalu ia kembali bertanya,
"Apakah ayah bekerja untuk mendapatkan uang?"
Ibu kembali menjawab dengan sabar.
"Ayah bekerja untuk mencari nafkah. Untuk kita. Kamu
masih terlalu kecil untuk mengerti tentang ini, nak" jelas
Ibu. Si gadis kecil diam dan tidak ingin bertanya lagi.
Seminggu kemudian, di suatu malam, gadis kecil itu masih
belum juga tidur. Ibu sudah kewalahan membujuk anaknya.
Katanya, ia ingin menunggu sampai ayahnya pulang. Alhasil,
si gadis kecil bersama sang ibu tertidur di sofa depan
menunggu ayah pulang.
Ketika ayah datang, si gadis kecil langsung terbangun dan
berlari menuju ayah.
"Maafkan ayah sudah membuat kamu terbangun" ujar ayah.
"Aku memang menunggu ayah pulang." Kata si anak.
Sang ayah bingung.
"Kenapa harus menunggu ayah sampai selarut ini?"
Gadis kecil ini pun mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
"Ayah, aku tidak tau berapa gaji ayah. Tapi kata ibu, gaji
ayah sangatlah banyak, dan aku tidak akan punya uang
sebanyak itu sebelum aku dewasa nanti." Ujar si anak. Ia
menyerahkan sekantong pelastik kecil uang logam dan
beberapa lembar uang kertas kepada ayahnya.
Sang ayah masih menatapnya dengan tatapan bingung.
"Tapi, menunggu untuk aku dewasa terlalu lama, yah. Aku
butuh ayah sekarang. Semoga uang ini bisa membeli waktu
ayah agar bisa bermain bersamaku besok." Lanjut sang
anak.
"Simpan saja uangmu, nak. Uang itu bisa kamu pakai untuk
beli mainan yang kamu suka. Kamu juga bisa minta ke ayah
kalau masih kurang" kata ayah.
Gadis kecil menggeleng cepat.
"Aku menjual semua mainanku untuk uang ini dan juga aku
simpan uang jajanku setiap hari. Ayah, aku gak butuh
mainan atau baju yang mahal. Aku hanya butuh ayah, aku
ingin membeli waktu ayah."
"Semua uang ini aku ingin gunakan untuk membeli satu jam
saja dari waktu ayah. Aku tau waktu ayah sangat berharga
tapi aku ingin bermain dengan ayah seperti teman2ku yang
bermain bersama ayah mereka.."
Sang ayah tertegun dan akhirnya menangis sambil memeluk
tubuh anaknya. Sang ayah baru mengerti, bahwa seluruh
waktu yang ia gunakan hanya untuk bekerja dan bisa
memenuhi kebutuhan keluarganya ternyata salah. Bukan
hanya materi yang perlu ia berikan pada keluarganya tapi
juga batiniyyah. Dan anak lebih peka perasaannya dan akan
lebih cepat membuat hal untuk bisa mendapatkan apa yang ia
inginkan. Meskipun ia belum banyak mengerti, tapi ia bisa
menunjukkan hal yang sebenarnya ia butuhkan.

Pantaskah Aku Mengidamkan Sosoknya?

Iseng buka kembali coretan lama, eh, ketemu kayak gini. Ternyata dulu aku sempat galau tentang hal beginian juga. Hihihi.

Tgl : 29 Juni 14

Siapakah ia?

Tersenyum aku membayangkannya. Seseorang dengan iman, ilmu dan taqwa. Oh sungguh, bisakah aku membayangkan sekali lagi? Sesosok imam yg mendampingiku kelak. Mengajariku tentang ilmu, menuntunku dalam taqwa, serta membimbingku dalam nikmat islam.

Siapakah ia?
Tak sabar hati ini menunggu. Disetiap doa, disetiap malam akanku terlelap.
Ya Rabb, mohon ampunilah hambamu ini.

Namun, tidak bisa hati ini berbohong pada-Mu, bersembunyi dari pengetahuan-Mu. Aku hanyalah perempuan yang lemah imannya, yang banyak kekurangan dalam ibadahnya.
Lalu, masih pantaskah aku membayangkannya?
Pantaskah jika akhlakku yang lemah mengharapkan imam yang begitu sempurna untuk hidupku kelak?
Calon pemimpin dan penuntunku dalam nikmat islam ini.

Seorang yang baik, untuk mereka yang baik pula. Begitulah bunyi firman-Mu.

Aku tahu, ketika Engkau berkehendak, maka segalanya bisa terjadi. Aku hanya berlaku sebisaku, melakukan yang terbaik untuk-Mu semata. Namun, terasa sulit bagiku jika bersanding dengan mereka yang baik menurut firman-Mu.

Bisakah aku? Mampukah aku?

Tidak. Itu salah.

Pertanyaan itu akan kurubah,

Ijinkankah Engkau? Ridhokah Engkau?

Akan kulakukan yang terbaik, untuk-Mu, untukku, untuk jodohku kelak.
Bisakah?

Ya Allah,
Ampuni aku dari rasa gelisah, dan kegalauan yang tiada berguna. Cukupkanlah aku dengan nikmat-Mu. Yakinkanlah aku dengan apa yang telah Engkau gariskan. Sibukkanlah aku hanya untuk menyebut dan mengingat nama-Mu. Tenangkahlah hatiku bahwa Engkau telah menyiapkan seseorang yang terbaik dalam hidupku kelak. Hilangkanlah ia yang selalu aku membayangkannya.
Jadikanlah aku sebagai wanita yang mampu bersanding dengan dia yang Engkau pilih. Karena cintaku hanyalah karena-Mu dan untuk Rasul-Mu semata.

Selasa, 09 Juni 2015

Siapkah kamu?

Hidup bukanlah pacuan melainkan suatu perjalanan dimana setiap tahap sepanjang jalannya harus dinikmati.

Jangan takut mengambil resiko, anggaplah resiko sebagai kesempatan untuk belajar bagaimana menjadi berani.

Siapkah kamu?

Waktu tidak akan menunggumu untuk siap. Tapi, selalu siaplah menunggu waktumu itu datang.